Mendengar kata pajak pasti membuat sebagian besar
orang akan menyingkir. Atau malah berusaha berpikir untuk dapat membayar pajak
sekecil mungkin. Jadi slogan “Hari ini tidak bayar pajak? Apa kata dunia?” Itu
bukan menjadi ancaman yang memalukan bagi para wajib pajak.
Tapi jangan langsung menyalahkan para wajib pajak.
Karena kepercayaan rakyat khususnya para wajib pajak memang harus dimunculkan
kembali setelah berbagai kasus yang menjerat para aparat di dirjen pajak.
Tetapi bukan hanya itu masalahnya. Bagi para wajib
pajak, hak-hak yang melekat seiring dengan kewajiban membayar pajak sepertinya
bukanlah hak yang sebenarnya harus diperoleh oleh wajib pajak. Mengapa
demikian?
Hal itu karena dari sekian hak-hak wajib pajak
semuanya berujung pada kewajiban yang hanya diperlonggar saja. Wajib pajak
masih diperlakukan sebagai objek dan bukan subjek. Misalnya seperti yang
tercantum pada buku panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, misalnya hak dalam
hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan.
Meskipun tujuannya adalah memberikan hak tetapi inti
dari pemberian hak itu bukankah melakukan pengecekan terhadap kepatuhan
pembayaran pajak sang wajib pajak? Lalu bagaimana dengan slogan lainnya yang
berbunyi “Patuhi pajaknya dan awasi penggunaanya?
Bagaimana cara wajib pajak ini mengawasi penggunaan
pajak yang telah mereka setorkan? Bagaimana para wajib pajak mengetahui
uang-uang itu memang digunakan sebagaimana seharusnya? Seperti diakui Negara
Indonesia ini sangat luas. Jadi bagaimana mereka bisa mengetahui seberapa besar
penyerapan uang pajak mereka kepada Negara? Ekstrimnya lagi apakah uang yang
telah disetorkan benar-benar digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan
rakyat?
Berbagai dokumentasi mungkin dimuat di media cetak
maupun elektronik. Tapi sejelas apakah berbagai bukti itu mampu meyakinkan dan jlentrehke banyaknya uang yang telah wajib
pajak setorkan?
Kurangnya kejelasan transaksi apa saja yang dikenakan
pajak juga terasa menjebak para wajib pajak. Banyak menerima surat peringatan
dan himbauan untuk pembayaran pajak yang bahkan para wajib pajak tidak tahu
bahwa apa yang mereka lakukan itu ada pajaknya. Sampai-sampai terlintas di
pikiran “jangan-jangan duduk di taman kota juga harus bayar pajak?” hehehe.
Para pemangku kepentingan di dirjen pajak seharusnya
memang harus segera mengerahkan pegawainya, agar lebih memberikan pencerahan
mengenai seluk beluk pajak. Agar tidak ada lagi perasaan terjebak dari wajib
pajak. Brosur-brosur dan selebaran yang menerangkan hal itu sangat bisa
membantu para wajib pajak.
Dan ada satu lagi yang mungkin dapat meningkatkan
kepercayaan wajib pajak, mengapa sejak dulu hingga kini tidak pernah ada
semacam klarifikasi dan pertanggungjawaban dari Negara dalam hal ini dirjen
pajak sebagai instansi yang mengurusi perpajakan? Laporan pertanggungjawaban
itu selalu ada meski untuk penggunaan dana yang kecil, misalnya laporan tahunan
penggunaan dana di sekolah, dan mungkin bahkan di lingkungan RT. Tetapi mengapa
laporan pertanggungjawaban itu tidak wajib pajak terima dari Negara dalam hal
ini dirjen pajak?
Para wajib pajak berhak mengetahui berapa besar
pemasukan dari pajak dan digunakan untuk apa saja uang hasil pajak tersebut. Di
era yang sudah sangat memudahkan pertukaran informasi, bukankah mudah dan murah
mengirimkan laporan pertanggunjawaban tersebut kepada wajib pajak?
Pengiriman itu bisa melalui pos, maupun digelar di
media cetak bahkan bisa juga lewat jaringan internet melalui email ke
masing-masing wajib pajak.
Kejelasan penggunaan dana
itu penting bagi wajib pajak, agar mereka yakin bahwa mereka tidak sedang
memberi makan Gayus-Gayus yang lain. Dan agar para wajib pajak yang ingin taat
pajak itu dapat ikut mengawasi penggunaan pajak dengan maksimal. Jangan sampai
tidak ada yang mengetahui bahwa penggunaan pajak mungkin hanya digebyah uyah untuk hal yang tidak
terlalu signifikan dan tidak mendesak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar