Rabu, 12 November 2014

Transparansi dalam Pajak


Mendengar kata pajak pasti membuat sebagian besar orang akan menyingkir. Atau malah berusaha berpikir untuk dapat membayar pajak sekecil mungkin. Jadi slogan “Hari ini tidak bayar pajak? Apa kata dunia?” Itu bukan menjadi ancaman yang memalukan bagi para wajib pajak.

Tapi jangan langsung menyalahkan para wajib pajak. Karena kepercayaan rakyat khususnya para wajib pajak memang harus dimunculkan kembali setelah berbagai kasus yang menjerat para aparat di dirjen pajak.

Tetapi bukan hanya itu masalahnya. Bagi para wajib pajak, hak-hak yang melekat seiring dengan kewajiban membayar pajak sepertinya bukanlah hak yang sebenarnya harus diperoleh oleh wajib pajak. Mengapa demikian?

Hal itu karena dari sekian hak-hak wajib pajak semuanya berujung pada kewajiban yang hanya diperlonggar saja. Wajib pajak masih diperlakukan sebagai objek dan bukan subjek. Misalnya seperti yang tercantum pada buku panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, misalnya hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan.

Meskipun tujuannya adalah memberikan hak tetapi inti dari pemberian hak itu bukankah melakukan pengecekan terhadap kepatuhan pembayaran pajak sang wajib pajak? Lalu bagaimana dengan slogan lainnya yang berbunyi “Patuhi pajaknya dan awasi penggunaanya?

Bagaimana cara wajib pajak ini mengawasi penggunaan pajak yang telah mereka setorkan? Bagaimana para wajib pajak mengetahui uang-uang itu memang digunakan sebagaimana seharusnya? Seperti diakui Negara Indonesia ini sangat luas. Jadi bagaimana mereka bisa mengetahui seberapa besar penyerapan uang pajak mereka kepada Negara? Ekstrimnya lagi apakah uang yang telah disetorkan benar-benar digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat?

Berbagai dokumentasi mungkin dimuat di media cetak maupun elektronik. Tapi sejelas apakah berbagai bukti itu mampu meyakinkan dan jlentrehke banyaknya uang yang telah wajib pajak setorkan?

Kurangnya kejelasan transaksi apa saja yang dikenakan pajak juga terasa menjebak para wajib pajak. Banyak menerima surat peringatan dan himbauan untuk pembayaran pajak yang bahkan para wajib pajak tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu ada pajaknya. Sampai-sampai terlintas di pikiran “jangan-jangan duduk di taman kota juga harus bayar pajak?” hehehe.

Para pemangku kepentingan di dirjen pajak seharusnya memang harus segera mengerahkan pegawainya, agar lebih memberikan pencerahan mengenai seluk beluk pajak. Agar tidak ada lagi perasaan terjebak dari wajib pajak. Brosur-brosur dan selebaran yang menerangkan hal itu sangat bisa membantu para wajib pajak.

Dan ada satu lagi yang mungkin dapat meningkatkan kepercayaan wajib pajak, mengapa sejak dulu hingga kini tidak pernah ada semacam klarifikasi dan pertanggungjawaban dari Negara dalam hal ini dirjen pajak sebagai instansi yang mengurusi perpajakan? Laporan pertanggungjawaban itu selalu ada meski untuk penggunaan dana yang kecil, misalnya laporan tahunan penggunaan dana di sekolah, dan mungkin bahkan di lingkungan RT. Tetapi mengapa laporan pertanggungjawaban itu tidak wajib pajak terima dari Negara dalam hal ini dirjen pajak?

Para wajib pajak berhak mengetahui berapa besar pemasukan dari pajak dan digunakan untuk apa saja uang hasil pajak tersebut. Di era yang sudah sangat memudahkan pertukaran informasi, bukankah mudah dan murah mengirimkan laporan pertanggunjawaban tersebut kepada wajib pajak?

Pengiriman itu bisa melalui pos, maupun digelar di media cetak bahkan bisa juga lewat jaringan internet melalui email ke masing-masing wajib pajak.
Kejelasan penggunaan dana itu penting bagi wajib pajak, agar mereka yakin bahwa mereka tidak sedang memberi makan Gayus-Gayus yang lain. Dan agar para wajib pajak yang ingin taat pajak itu dapat ikut mengawasi penggunaan pajak dengan maksimal. Jangan sampai tidak ada yang mengetahui bahwa penggunaan pajak mungkin hanya digebyah uyah untuk hal yang tidak terlalu signifikan dan tidak mendesak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar