Rabu, 12 Juni 2013

Hidup itu pilihan?

Hidup itu pilihan?

 
Hari ini, pertanyaan yang sering terlintas itu kembali hadir. Cerita itu hadir ketika saya sedang menjemput anak-anak dari sekolah, karena saya terlalu awal menjemput mereka, akhirnya saya mencoba berbasa-basi dengan sesame ibu yang juga menjemput anaknya. Tak lama cerita pun bergulir. Sang ibu yang saya ajak cerita tersebut sedang menjemput cucunya. Mungkin karena memang sedang butuh teman untuk cerita atau memang kebiasaan ibu tersebut yang senang bercerita. Tapi inti pembicaraan kami adalah pilihan yang harus dilakukan seorang ibu untuk memilih belajar di luar negeri dan harus meninggalkan anak dan suaminya.
 
Sebenarnya tidak masalah jika keadaan yang ditinggalkan terkendali, sayangnya anak yang ditinggalkan di rumah bersama ayahnya bersikap sering tak terkendali, sering marah, mengamuk, menganggap ibunya berbohong dan sering meluapkan rasa kecewa dan perasaan sepinya dengan meminta berbagi mainan yang kadang sampai bingung mainan apa lagi yang harus dibeli (karena sudah begitu banyak dan beragamnya mainan di rumah). Bisa ditebak sang ayah dan nenek tidak punya pilihan lain selain memenuhi dan melakukan segala sesuatu yang dapat menyenangkn hati cucunya. Ketakutan saya adalah, bagaimana perkembangan anaka itu kelak? Apakah akan baik-baik saja jika kebiasaan itu diteruskan? Saya membayangkan bagaimana keadaan ibu yang harus belajar di luar negeri dan meninggalkan anaknya? Bagaimana susahnya perasaan ibu tersebut? Ternyata kesulitan yang kadang saya anggap sebagai penghambat pencapaian mimpi saya, bemacam kerepotan yang harus saya bagi dengan ambisi dan mimpi saya, itu bukan apa-apa. Keputusasaan yang sering datang ketika keadaan seperti tidak mendukung mimpi say, harusnya tidak boleh ada. Saya masih dapat berkumpul dengan keluarga dan anak-anak. Saya masih bisa melihat dan memeluk mereka. Mendengar mereka mendoakan untuk kebaikan dan keberhasilan saya.


Sungguh pilihan yang tidak mudah. Sedih, pilu dan prihatin saya tak tahu harus menanggapi bagaimana. Meninggalkan anak yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang tua untuk menuntut ilmu. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, tuntutlah ilmu sampai liang lahat. Kata-kata mutiara tersebut menjadi semacam penyemangat bagi saya dalam belajar. Tetapi jika dihadapkan pilihan yang sama seperti saya ceritakan tadi, apakah saya masih bisa dan sanggup menjalaninya. Tidak ada yang bisa saya sisipkan dalam dinding hati saya selain sebait doa, semoga apapun yang dilakukan ibu itu merupakan pilihan terbaik dan dapat membawa kebaikan untuk semua. Amien