Kamis, 30 Oktober 2014

Perjalanan Mimpiku (1)




Sudah ba’da Ashar, dan belum ada satu tulisan pun untuk hari ini. Padahal sudah niaaat banget harus buat tulisan minimal 1 dalam 1 hari. Hehehe. Sebenarnya banyak ide berseliweran tetapi kabur seiring derap langkah kakiku menyusuri jalanan panjang siang ini.

Ah tidak boleh menyalahkan apapun dan siapapun. Salah sendiri, kenapa tadi tidak menuliskan ide-ide itu meski harus setengah berlari memburu “kepastian”, meski harus tetap pegang setir. “Gawat! Jika sampai hari ini bolong, tidak membuat satu tulisan pun. Pasti bakalan merembet di hari-hari berikutnya.”  begitu pikirku.

Coba ubek-ubek blog teman-teman blogger. Sapa tahu ada ide nyantel di kepala setelah baca tulisan teman-teman yang lain. Yang ada malah asyik membaca karya para blogger yang keren-keren bgt.

Selama 2 hari ini, disela-sela kegiatan ku yang lumayan padat. Hehehe sengaja dipadet-padetin, supaya terbiasa. Siapa tahu suatu saat nanti, aku jadi penulis yang sudah pandai menulis. Sehingga banyak penerbit yang ingin aku menulis buku untuk mereka. Hahaha ngarep betuull! Nah sekarang latihan dulu jadi orang sibuk, supaya saat benar-benar sibuk nantinya, aku sudah tidak kaget lagi. Halah iki opo J

Saya ulangi, selama 2 hari ini saya menemukan blog teman-teman blogger yang super keren sampai tidak sampai hati saya untuk menutup halaman blognya. Aiihhh segitunya…hehehe. Betul! Beneran! Saya sampai bingung mau baca yang mana dulu, saking semuanya bagus-bagus banget.

Ya! Tulisannya itu lho keren abiisss. Memang beliau-beliau ini sepertinya sudah lama malang melintang di dunia penulisan. Terbukti dari banyaknya karya berupa buku, artikel dan pengalamannya yang aduuuhh bikin geregetean!

Kok bisa ya ada orang dengan kemampuan yang memikat seperti itu? Sejak kapan dia menyadari mimpi dan kemampuan meraih mimpinya tersebut? Terselip sedikit iri (sedikiiiit aja kok hehehe).

Setiap orang memang harus punya mimpi. Termasuk aku. Cuma aku (sepertinya) agak tidak peka terhadap mimpiku sendiri. Aku termasuk yang easy going. Apa yang ada di depanku yang jalani aja. Toh semua sudah diatur oleh-Nya. Itu yang selalu kupikirkan dan sedikit banyak mempengaruhi cara pandangku mengenai mimpi. Hehehe

Dari kecil hingga menginjak waktu kuliah sebenarnya aku termasuk anak yang mendapatkan kebebasan dalam menentukan masa depan. Alias dari dulu sebenarnya aku sudah dituntut peka terhadap mimpiku.

Tapi tetap saja, aku jalani saja apa yang ada didepanku. Prinsipku sampai sekarang ya cuma satu, yaitu bertanggung jawab dan menyelesaikan yang menjadi kewajibanku saat itu. Tidak neko-neko. Tapi hasilnya ya begini, jadi kurang sensitif dan kurang bergairah mengejar mimpi.

Sebenarnya apa yang disebut dengan mimpi? Bagaimanakah mimpi tersebut dihubungkan dengan bakat seseorang? Bagaimana agar seseorang dapat menyadari mimpi terbesarnya? Hhhhhh banyak sekali yang ingin kuketahui.

Dari kecil hingga mau masuk kuliah, aku masih belum sadar betul apa-apa yang ingin kucapai berdasarkan keahlianku. Bahkan mungkin aku juga tidak tahu apa saja kemampuan yang kumiliki. Ataukah aku tidak mempunyai kemampuan? (Halah lha kok jadi negative begini mikirnya? Lupakan!) Semua yang terjadi kuanggap sudah menjadi takdir. Dan aku tinggal menjalaninya.

Dulu selepas SMP sebenarnya bapak sudah membuka jalan mimpiku dengan menawarkan beberapa sekolah lanjutan atas untuk kupilih. Saat itu bapak menyodorkan beberapa pilihan SMA dengan beberapa konsekuensi yang menyertai.

Saat itu bapak memberi dua pilihan awal. Aku disuruh memilih untuk melanjutkan sekolah di sekolah kejuruan atau di sekolah menengah umum. Bapak menjelaskan menurut sepengetahuan beliau “Jika kamu ingin melanjutkan kuliah maka pilihlah SMU, jika kamu pingin segera bekerja maka ambil yang SMK.”

Dulu entah informasi yang sampai ke bapak “hanya” itu, ataukah memang masuk SMK tidak bisa lanjut kuliah. Tapi itu menjadi dasar pilihan pertamaku untuk masa depanku. Aku memilih masuk di SMU. Alasanku tentu saja karena aku ingin kuliah. Mumpung orang tua masih mampu membiayaiku, maka aku ingin sekolah seeeetinggi-tingginya. J

 
 
 

Selasa, 28 Oktober 2014

Jatuh Cinta Lagi

Busyeet, sudah lama semenjak rasa cinta pada suamiku bersemi. Sekarang aku merasakan hal yang sama. Semua terasa indah. Hari-hariku menjadi penuh gairah. Mengawali hari dengan sangat gembira.

Ya! Aku sedang jatuh cinta lagi. Dan cinta ini bukan lagi untuk suamiku. Tidak! Tapi aku tidak selingkuh. Karena aku memang tidak ingin menghianati cintanya. Ah tapi mengapa rasanya seperti ini? Tapi rasa ini tumbuh tak terbendung lagi. Mengisi ruang hati yang sempat sepi.

Setiap hari aku ingin segera menyelesaikan tugasku sebagai istri. Mengurusi dan melayani kebutuhan anak dan suami di waktu pagi. Mengantarkan kepergian mereka menuju tempat menggapai asa. Bergegas aku, menutup pintu pagar.

Masuk rumah untuk segera menyelesaikan tugas yang tersisa. Harus segera selesai, agar aku bisa segera menjumpainya dan berbahagia bersamanya.

Jika sehari tak dapat melihat dan merasakan keindahannya, maka hari itu seperti kehilangan makna. Ah, benar-benar aku mulai terpesona karenanya.

Suamiku pernah mengetahui gelagat anehku. Menyindirku dengan berbagai kalimat yang sungguh membuatku malu. Ah, tapi aku tidak terlalu memusingkannya. Biarlah yang penting aku melakukan semua yang menjadi tugasku. Pasti lama-lama suamiku akan mau memahamiku.

Pernah suatu kali suami menegurku karena melalaikan pekerjaan dan lebih mementingkan kesenangan sendiri. Hingga membuatku harus introspeksi diri dan berbenah. Agar semua bisa dijalani dengan baik.

Tak ada yang berubah, hanya kecepatanku menyelesaikan pekerjaan saja yang aku tambah. Tentu saja tidak ada alasan lain. Aku hanya ingin segera berdekatan dengannya, berbagi cerita bersamanya. Suamiku mungkin akan cemburu melihat binar kebahagiaan di mataku.

Tapi suamiku pasti merestuiku. Karena aku tidak sedang main api. Aku hanya sedang mencintai "menulis". Apakah itu salah? Hehehe Eng Ing Eng!!


Belum

Dulu
Lama
Kegelisahan mengajak pencarian
Tak berkesudahan
Amarah dan getir hati tertahan
Tak terbuncahkan
Mengalir butir kegundahan
Mengiringi tapak demi tapak
Bersama waktu
Menyusuri keheningan
Sendirian
Kini
Damai dan senyum diri
Lelah,
Menggoda tuh berhenti
Hingga suara itu menggetarkan
Langkah itu
Belum boleh berhenti
Disini?
Tidak untuk saat ini

Pengagum kesunyian

Hening menyapa lembut
Kabut menorehkan kesejukan
Tak ada suara
Hiruk pikuk itu untuknya
Bukan untukku
Hingga terdengar jelas suara hati
Tak mengapa tak jadi berita
Memang bukan itu tujuannya
Menjadi catatan Ilahi
Itu cukup
Tak perlu orang lain mengerti
Apalagi memahami
Itu semua tak akan berarti
Untuk suatu hari yang pasti
Sambut dengan lega dan harapan
Semoga Tuhan tidak menampik
Segala persembahan
Sebagai wujud pengabdian

#dariHAtiUntukPahlawanTakDikenal

Senin, 20 Oktober 2014

Belajar dan Berproseslah Nak!


Jarak kelahiran antara anak saya yang pertama dan kedua sangat dekat. Mereka hanya selisih 1 tahun 6 hari. Ya! Saya mengandung untuk anak yang ke dua setelah 3 bulan saya melahirkan anak saya yang pertama. Sangat mengagetkan bagi saya. Dan tentu juga sangat melelahkan. Lelah, baik secara fisik maupun psikis. Suami termasuk orang yang sangat bertanggung jawab untuk urusan mencari nafkah. Sehingga, urusan domestik, mutlak menjadi otoritas saya.

Selama hamil anak yang kedua tersebut, belum begitu terasa repotnya. Meski tidak bisa dikatakan mudah. Sambil mengurus anak yang pertama, saya tetap mengurus segala tetek bengek urusan rumah tangga dan anak. Belum terpikir untuk mencari ART. Karena saya merasa masih mampu melakukan semua sendiri. Hingga anak kedua lahir, urusan pengasuhan anak saya lakukan sendiri. Repot? Iya tentu saja. Tetapi saya menikmatinya. Karena semua dilakukan sendiri, tak sadar waktu terus berlari. Hingga anak telah mencapai masa untuk dikenalkan dengan lingkungan sekitar. Dan saya mungkin agak terlambat melakukannya.

Hingga tiba saatnya saya harus memasukkan anak-anak ke sekolah, untuk dapat melengkapi proses perjalanan kehidupan mereka. Mereka berdua bersamaan saya daftarkan di sekolah yang sama. Maksud saya agar mereka saling menguatkan. Karena anak-anak sangat lengket dengan saya, maka proses ini sangat berat bagi kami. Hampir setiap hari, selama satu bulan, anak-anak saya menangis di sekolahnya. Mereka menangis bergantian! Sepanjang waktu selama di sekolah! Selama di sekolah mereka tidak bersedia bermain bersama teman-temannya, apalagi urusan makan dan minum.

Kerja sama dengan pihak sekolah sangatlah baik. Para guru dengan sabar menemani dan mendekati anak-anak saya. Membuat anak-anak saya menemukan kenyamanan di lingkungan barunya tersebut. Meskipun begitu, saya hampir putus asa dan berniat menarik salah seorang anak saya yang paling kecil. Hal tersebut saya maksudnya untuk mengurangi kerepotan bagi para guru. Hingga tiba waktu menjemput anak-anak. Saya sudah membulatkan tekad, untuk mengatakan niat saya tersebut pada guru dan kepala sekolah tempat anak saya bersekolah.

Dengan tegang saya memasuki pintu gerbang sekolah anak saya tersebut, dan disambut oleh senyum manis seorang guru. Sambil tersenyum sang guru tersebut berujar “Alhamdulillah Bu, hari ini anak-anak sudah bisa bermain bersama teman-temannya, mereka juga mau makan.” Seakan tidak percaya saya meminta kejelasan dari maksud ucapan guru tadi, dan dijawab oleh senyuman dan tawa riang guru tersebut. Lega hati saya mengetahui hal tersebut. Apalagi saat saya menyaksikan anak-anak saya saat tengah asyik bermain pasir bersama dengan anak-anak yang lain.

Rasanya ucapan terima kasih tidak cukup untuk menggambarkan betapa besar kebahagian saya kala itu. Apalagi untuk dapat membalas jasa para guru tersebut terhadap kami, terutama anak-anak itu. Hanya doa tulus terselip di balik senyum bahagia saya, semoga kebahagiaan, kebaikan dan kesejahteraan selalu menyertai para guru semua. Kebaikan dan ketulusan kalian memberikan nilai-nilai kebaikan pada anak-anak yang sedang belajar dan berproses. Keindahan proses ini semoga terpatri dalam dada anak-anak ini. Hingga kelak dirinya dewasa, mereka memiliki tabungan cinta di dalam jiwanya untuk dapat disebarkan dan demi kebaikan semesta.

 

Ingin Kupesankan Surga

 
 
Ternyata kalian masih sekecil ini ya nak, waktu umi memaksa untuk sekolah. Apa perasaan kalian saat itu? Apakah sedih, senang, takut ataukah marah? Umi masih ingat, waktu itu kalian yang belum terbiasa bangun pagi, harus dengan susah payah umi bangunkan jam 06.00 WIB. Itu umi lakukan agar kalian tidak terlambat di hari pertama kalian bersekolah. Meskipun begitu, dengan ceria kalian tetap menuruti perintah umi. Apalagi ditambah dengan sepatu dan tas baru itu, kalian menjadi bersemangat ke sekolah.


Tapi setibanya di sekolah, kalian mulai menunjukkan rasa tidak nyaman. Dan kalian menangis, ingin pulang. Ya! Umi tahu sepenuhnya, karena setiap saat umi "mengurung" kalian di rumah. Membanjiri kalian dengan cinta dan kesetiaan. Tetapi sayangnya hanya di rumah . Tanpa teman sebaya, tanpa permainan bersama teman-teman seusia. Tanpa mengenal kenakalan-kenakalan di luar sana. Maafkan, karena keterbatasan itu.

Maafkan umi, karena tidak bisa memberikan lingkungan informal yang dapat membantu proses bertumbuhmu. Hingga sekolah adalah jalan satu-satunya yang umi pilih untuk dapat menguatkanmu. Maafkan umi karena memaksamu untuk sekolah. Bukan umi tidak mau kerepotan mengurus kalian. Bukan karena umi harus meninggalkan kalian untuk bekerja di luar rumah. Semua umi lakukan supaya kalian semakin mantap melewati proses pengenalan lingkungan.

Melewati hari-hari pertama kalian sekolah, adalah siksaan bagi umi. Berbagai doa untuk kekuatan tak henti meluncur dari bibir ini. Menghitung lambatnya waktu berlalu untuk dapat menjemput kalian di sekolah. Membayangkan kalian tak nyaman di lingkungan baru, sangat menyedihkanku.

Tapi kini semua indah. Seiring berjalannya waktu, kalian mulai bahagia bersama teman-teman kalian. Menemukan dunia kanak-kanak kalian. Berbahagialah nak. Tataplah masa depanmu dengan penuh suka cita. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Semua dapat kau lalui jika kau yakin. Berusahalah tanpa lelah, dan berdoalah tanpa putus. Ingatlah bahwa Allah SWT tidak pernah mengecewakan hamba-Nya yang benar-benar berusaha dan tulus berdoa. Umi mencintai kalian nak. Berdoa dan berusaha untuk kebaikan kalian adalah impian umi saat ini. Tolong mampukan umi, agar dapat mencapainya.

Bersamamu Cinta




Bertumbuh, berproses, saling memperbaiki diri bersama dengan
kalian itu….sesuatuuh (kalo kata Syahrini hehehe..).  Jika kata cinta
dapat mewakili perasaan hatiku, maka akan terus kukatakan itu,
untuk kalian yang senantiasa mengucapkannya dengan senyum
kalian setiap saat untukku. Jika pelukan kasih itu dapat
membuncahkan rasa sayangku pada kalian, maka ingin kupeluk
kalian setiap waktu, sehangat kasih kalian untukku. Jika panggilan
sayangku pada kalian dapat mencerminkan betapa aku merindu,
maka ingin kusampaikan rasa itu dengan suka cita. Bahwa aku
sangat cinta. Entah mengapa jadi sebesar ini? Entah mulai kapan?
Tapi aku menyukai setiap detik bersama rasa ini. Biarkan rasa ini
menemaniku. Tidak menggetarkan tetapi menguatkan. Bukan
mengaburkan tetapi meluruskan. Semoga.

Jumat, 17 Oktober 2014

Karena Kau Mampu

 
Hingga hari ini, sudah tak terhitung berapa kali jarum suntik memasukkan obat ke dalam tubuhnya. Sudah berapa banyak dosis obat yang ditelannya. Karena sejak dua tahun yang lalu, aroma rumah sakit telah akrab di indera penciumannya. Lara itu telah mengakrabkannya dengan semua aroma kesakitan dan penderitaan. Mendengar namanya saja sudah sangat menyakitkan. Apalagi harus menghadapi dengan tubuh mungilnya.

Ya! Penyakit kanker itu telah menggerogoti tubuhnya sejak dia belum mengerti arti sakit. Sejak dia masih berusaha mengenal isi dunia ini. Sejak dia baru berusaha menjejakkan kaki mungilnya di sini. Bahkan sejak dia belum bisa berteriak “Tuhan, mengapa harus aku? Mengapa harus penyakit ini yang kuderita?” Karena tak ada pilihan dan hanya bisa diam, merasakan sakitnya.

Tangisnya tak berbeda dengan anak-anak sehat lainnya. Senyumnya bahkan menyiratkan keteguhan dan perjuangan. Luka di dalam tubuhnya tersamurkan oleh riang dan canda tawanya. Semakin memiriskan mata hati semua jiwa di sekelilingnya, diiringi deraian tangis orang tuanya. “Biar aku saja yang menggantikan anakku Tuhan! Mereka masih terlalu kecil untuk menanggungnya.” Sambil terisak, tergugu, tak berdaya menerima kenyataan pahit.

Fakta miris menyebutkan bahwa dari sekitar 16 juta pasien, 11.000 orang diisi oleh anak-anak. Berita menyedihkan lainnya adalah penyakit yang sangat ditakuti ini tidak hanya menyerang keluarga berada, keluarga yang tidak mampu pun tak bisa mengelak darinya. Himpitan ekonomi membuat mereka semakin sesak, tidak dapat bergerak. Lantas bagaimana mereka akan mencari jalan dan celah sempit untuk menyembuhkan anaknya? Jika mencari sesuap nasi pun, harus mereka lalui dengan susah payah. Jika nama penyakit yang diderita anaknya masih asing di telinga mereka. Entah apa yang ada di benak mereka?

Bukan!!! Bukan berarti Tuhan tidak adil. Bukan pula berarti Tuhan tidak menakar kemampuan hamba-Nya! Karena Dia yang paling tahu. Ya! Dia yang Maha Tahu. Dia memberikan cobaan untuk menitipkan kemudahan di dalamnya. Memberikan sakit untuk menitipkan berbagai macam obat dan jalan penyembuhannya. Memberikan berbagai kebuntuan untuk membuat manusia semakin kaya jalan keluarnya. Tak ada yang sia-sia.

Jikalau jiwa itu rapuh, maka kekuatan doalah penyembuhnya. Saat merasakan kehilangan, menerima kenyataan melalui wujud kesyukuran akan lebih membahagiakan. Senantiasa berjuang untuk mewujudkan impian adalah kebaikan. Dan menerima ketentuan dengan senyuman betapa pun pahitnya, memang tak akan mengurangi kadar pahitnya. Tetapi senyuman itu membuktikan bahwa kau mampu. Kau pasti mampu. Menjalani dan melewatinya menuju gerbang batas kebahagiaan yang sebenarnya.

Berjuta pasang mata yang menyaksikan deritamu, tak akan tinggal diam. Berusaha mengulurkan tangan untuk meraih tangan mungilmu dan mengajak kalian keluar dari sana. Berusaha menemukan jalan yang terbaik untukmu dapat keluar dari lorong panjang itu. Berbagai macam pengobatan ditawarkan untuk dapat meringankan beban. Karena penyakit ini, bukan saja menyakiti penderita tetapi seluruh hati yang mendengarnya. Salah satu uluran tangan itu adalah Ronald McDonald House Charities (RMHC).  

RMHC hadir dengan misi yang mulia, yaitu menciptakan, menemukan dan mendukung program-program yang secara langsung meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak di seluruh dunia. Untuk mewujudkan misinya tersebut, yayasan ini melakukan berbagai macam program, diantaranya yaitu Ronald McDonald Care Mobile, Ronald McDonald Family Room dan Ronald McDonald House.

Kita pun bisa meringankan beban mereka dengan berbagai cara. Berbagai wadah tersedia untuk menampung bantuan dan kepedulian kita. Kita bisa mewujudkannya melalui www.stripesforlove.com. Peran serta kita akan sangat membantu dan menguatkan mereka. Dan mengatakan pada mereka “Kau pasti bisa, karena kau mampu!”

 

Sumber Bacaan:


 
 

Selasa, 14 Oktober 2014

Memilih Menjadi Bahagia

Menjadi ibu rumah tangga dengan hiruk pikuknya membuat saya semakin mencintai profesi saya ini. Profesi yang masih sering menimbulkan perdebatan di batin masing-masing diri. Profesi yang oleh sebagian orang masih dianggap sebagai profesi yang diisi oleh perempuan yang tidak cerdas dan tidak mandiri. Profesi yang kadang seseorang masih lirih untuk mengakuinya.


Lalu mengapa anggapan miring mengenai ibu rumah tangga masih saja ada? Ah tidak perlu terlalu memikirkan anggapan tersebut! Karena semua itu bukan untuk dipermasalahkan maupun diperdebatkan. Yang perlu dilakukan adalah memberikan bukti nyata yang dapat membalik semua anggapan miring tersebut. Sehingga yang ada bukan lagi berdebat masalah profesi melainkan kualitas pribadi. Benar begitu Moms? :)


Ibu rumah tangga adalah profesi yang sangat membutuhkan kekuatan mental dan fisik. Kekuatan mental dibutuhkan salah satunya untuk menghadapi berbagai cibiran dan tatapan merendahkan dari sebagian orang, bahkan mungkin dari pihak keluarga. Disamping itu kekuatan mental juga dibutuhkan untuk menghadapi berbagai persoalan dan permasalahan yang senantiasa hadir di setiap episode kehidupannya sebagai ibu dan istri, yang harus dapat diatasi dan diselesaikan oleh ibu. Berbagai pernak pernik permasalahan rumah dan anak tanpa disadari menguras energi.

Kekuatan fisik sangat dibutuhkan dan tentunya hal ini tidak perlu dijelaskan panjang lebar bukan? Karena setiap orang pasti sudah sama-sama setuju beratnya tugas domestik yang harus diselesaikan setiap hari. Mulai dari memasak, mencuci, membereskan rumah, jasa antar jemput anak, menemani anak belajar dan bermain serta melayani semua kebutuhan suami. Itu semua adalah tanggung jawab seorang ibu.

Menjalani profesi ini sejak menikah hingga hari ini, tentu tidak serta merta saya terima dengan senyuman. Hal tersebut didorong banyak hal, terutama beban karena sikap dari pihak yang menyayangkan keadaan saya yang “hanya” menjadi ibu rumah tangga dan tidak berkerja/berkarier di kantor seperti teman-teman saya. Tingkat pendidikan dan prestasi akademik saya, bisa dibilang cukup untuk saya dapat bekerja di kantor seperti yang diinginkan banyak pihak. Tetapi tidak saya lakukan.

Saya meyakini satu hal. Dalam suatu rumah tangga suami dan istri ibarat satu tim sepak bola yang bertujuan memenangkan pertandingan. Tujuan memenangkan pertandingan di sini yaitu mencapai keluarga yang harmonis dan bahagia yang sejahtera. Jika satu pihak bertugas menyerang dan terlihat berbakat menyerang, maka pihak lain harus menjalankan fungsi penting lainnya yaitu bertahan.

Dan sebagai ibu saya beranggapan, tanggung jawab saya adalah menjaga harta suami. Harta suami ini bukan hanya harta dari sisi materi saja, tetapi anak dan harta berupa kebahagian dan ketenangan lahir batin juga harus diusahakan. Sekian tahun saya lewati sebagai ibu yang urusannya hanya di persoalan dapur, kasur, sumur, halaman rumah dan di ruang tengah untuk menemani aktivitas anak-anak. Tidak dipungkiri kejenuhan pasti sering menghantui, apalagi jika suami mempunyai kesibukan tinggi. Sehingga waktu bercengkerama menjadi terkurangi.

Menjalani aktivitas yang kadang membosankan tersebut akan menjadi suatu bencana jika dilalui dengan berbagai keluhan, marah-marah dan sikap negatif lainnya. Tapi jika dijalani dalam ketulusan dan senyuman, pasti lebih menentramkan. Pernah suatu kali, karena saya sangat merindukan saat-saat saya berada di tumpukan buku di toko buku. Akhirnya saya nekat mengajak anak-anak saya yang masih kecil-kecil, untuk pergi ke toko buku bertiga tanpa suami, dengan menggunakan angkutan umum! Pada saat itu anak-anak saya masih berumur sekitar 2,5 tahun dan 1,5 tahun. Karena menggunakan angkutan umum maka kami harus menunggu angkutan umum tersebut lewat.

Cukup lama hingga akhirnya datanglah mobil berplat kuning yang kami tunggu. Demi kenyamanan, saya memilih duduk di depan di samping sopir. Baru saja pintu mobil dibuka dan saya berusaha duduk, entah karena melihat tampang pak sopirnya atau karena mendengar suaranya yang menggelegar, anak-anak saya histeris dan menangis sekencang-kencangnya. Aduh malunya saya, seluruh penumpang memperhatikan kami bertiga atau mungkin malah kasihan ya dengan kami. Tetapi karena sudah terlanjur naik, saya tetap duduk dan berusaha tenang. Saya berusaha membujuk anak-anak saya agar berhenti menangis. Meski agak lama, akhirnya mereka lebih tenang.

Dan sampailah perjalanan kami di tempat yang dituju. Berbinar mata ini melihat toko buku langganan yang sudah lama tidak saya datangi. Karena mengajak anak-anak, aktifitas saya di toko buku jadi tidak leluasa seperti dulu. Saya sibuk mengikuti kemana kaki-kaki kecil itu melangkah, menyusuri rak-rak buku yang baru mereka temui. Saat itu saya merasakan kebahagiaan, meski tak sebebas dulu. Hal itu juga senantiasa saya rasakan selama saya menjalani hari-hari saya bersama mereka, hingga kini mereka telah berumur lebih dari 6 tahun. Saya memilih senantiasa mendampingi dan menjalaninya dengan bahagia. Ya, karena inilah bahagiaku! :)

Tak lagi takut bepergian dengan angkutan umum hehehe

Ini bahagiaku

 

Senin, 13 Oktober 2014

Mental Kaya vs Mental Miskin


Setelah sekian lama miskin ide, terdetik ide yang terinspirasi dari obrolan ringan dengan teman. Ya, belum lama ini saya terlibat pembicaraan seru mengenai mental kaya dan mental miskin. Dalam obrolan tersebut dikatakan oleh lawan bicara saya, bahwa mental kaya membuat orang yang bermental kaya tidak akan mudah terpuruk saat keadaannya yang sebenarnya tidak kaya. Agak membingungkan ya? Lewati aja dulu.

Yang saya sedikit pahami adalah bahwa mental miskin menutup kemungkinan orang yang bermental miskin tersebut untuk menjadi orang kaya. Sebagai contoh orang yang memulai usaha memproduksi dan menjual makanan ringan, misalnya rempeyek. Orang yang bermental miskin tentu akan terlalu berhati-hati dalam mengunakan modalnya karena takut jika modalnya akan cepat habis dan tidak mempunyai modal lagi untuk terus berjualan. Beli bahan-bahan juga yang bukan kualitas terbaik, kemasan yang dipakai untuk menjual produk juga bukan kemasan berkualitas. Alhasil pembeli juga akan jadi berhati-hati dalam memilih produk tersebut karena berpikir tentang kualitas yang dihadirkan oleh produk tersebut.

 Nah kan jadi tertutup satu kemungkinan untuk menjadi kaya karena mental miskin tersebut. Belum lagi terkait upaya yang dilakukan oleh si mental miskin, karena mengeluarkan modal yang tidak banyak dan masih mempunyai persiapan sisa modal yang cukup untuk beberapa waktu kedepan, kemungkinan untuk lebih bersantai tentu akan lebih besar. Hal tersebut karena tidak ada semacam paksaan yang memaksanya harus berlari kencang agar tidak diterkam kerugian dan kebangkrutan dengan segera.

Jadi kalo demikian, mental kaya adalah kebalikannya. Orang yang bermental kaya akan membuka peluang-peluang terjadinya dan terbukanya kemungkinan kekayaan pada dirinya. Orang yang bermental kaya berani memilih yang berkualitas terbaik untuk diri dan kepentingannya. Sehingga berakibat pada usaha dan berbagai upaya yang dilakukan juga memiliki kualitas yang terbaik pula. Hal tersebut akan lebih mudah meningkatkan kualitas hidupnya jadi yang mulai dari bermental kaya, menjadi seseorang yang benar-benar kaya.

Ditulis 10-13 Oktober 2014