Pernah suatu ketika di sebuah kajian rutin yang saya
ikuti, seorang teman menyeletuk sebuah hal yang membuat saya cukup lama
merenunginya bahkan berusaha mencari jawaban dengan mengajak berdiskusi
beberapa orang yang saya anggap “mengerti”. Ketika itu, pembicaraan menyoroti
masalah syukur dan mensyukuri segala nikmat yang diberikan Allah SWT kepada
hamba-Nya.
Ketika semua orang sedang khusuk menyimak, salah
seorang teman saya tersebut berujar “Tapi menjalani kehidupan saat ‘diatas’
tentu lebih mudah kan ya bu, dari pada menjalani kehidupan saat berada
‘dibawah’.” Saya agak tersentak dengan
kalimat yang diucapkan teman saya tersebut. Dan berbagai jawaban berusaha saya
cari untuk dapat menolak anggapan ibu itu. Hingga beberapa hari setelahnya,
pernyataan mengagetkan itu masih saya cari jawaban sebenarnya.
Setelah beberapa hari kemudian, ada jawaban dari teman
saya yang saya ajak diskusi mengenai hal tersebut. Dari pembicaraan tersebut
satu kesimpulan yang dapat diambil bahwa, sikap tersebut dapat dengan mudah
menunjukkan bahwa orang yang merasa demikian adalah orang yang belum dapat
menerima segala karunia-Nya dan mungkin belum dapat mensyukurinya. Padahal
menurut saya, orang yang tidak dapat mensyukuri segala ketentuan-Nya berarti
orang tersebut sedang membuka pintu-pintu kemalangan yang lain.
Benar sampai saat kalimat itu meluncur dari teman
saya, tidak pernah terlintas akan ada ungkapan perasaan yang saya anggap jujur
tersebut. Peristiwa tersebut selalu teringat dalam pikiran saya. Perasaan takut
menyelinap dalam diri saya, saya sangat takut jangan-jangan saya juga seperti
itu. Menerima saat bahagia tetapi memberikan penolakan terhadap kemalangan.
Ah tapi apakah kemalangan itu? Benarkah sebuah
kemalangan memang kemalangan untuk kita? Ternyata tidak! Kita saja mungkin yang
kurang menyadari bahwa kemalangan yang kita rasakan itu sebenarnya bukanlah
kemalangan, karena terselip kebaikan dan keindahan di baliknya.
Peristiwa yang kita anggap kemalangan itu bisa jadi
adalah perlindungan-Nya terhadap keburukan di sebalik kebahagiaan yang kita
agungkan sebelumnya. Lalu apakah pantas kita menerima kebahagiaan dan menolak
sebentuk tekanan? Tanpa kita tahu maksud sebenarnya? Harus menjadi pegangan
bahwa kita memang harus senantiasa mengingat untuk selalu berprasangka baik
pada-Nya.
Jika kita meyakini bahwa apapun yang kita miliki
adalah kebaikan yang diberikan untuk kita, maka semoga kejadian apapun tidak
akan mengurangi nilai kecintaan kita pada pengupayaan meninggikan derajat kita
dihadapan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar