Selasa, 01 Juli 2014

Membangun Mimpi

Membangun mimpi

Dibesarkan oleh keluarga dengan latar belakang wiraswasta ternyata memberikan pengaruh dalam caraku memandang hidup. Ketika kecil sangat bangga dengan cara orang tua membesarkanku, tetapi lama-lama kebanggaan itu luntur berganti kebimbangan dan resah tak bertepi. Bagaimana tidak? Lambat laun aku menyadari bahwa menjadi pengelola losmen atau penginapan ternyata sangat dekat dengan perkara maksiat. Tahun demi tahun kulalui dengan gelisah. Berbagai mimpi terlintas dalam diri. Mungkin mimpi yang terlalu tinggi bagi orang yang bernasib sepertiku. Kedua orang tuaku benar-benar menggantungkan hidupnya di usaha penginapan atau orang biasa menyebutnya losmen. Aku ingin terbebas dari semua itu, sempat mencari dimana keadilan Tuhan karena menempatkanku di situasi seperti itu. Sering dulu aku bertanya pada Tuhan, mengapa Kau munculkan rasa gelisah ini?

Seperti orang dengan dua kepribadian, aku mengurai mimpiku di luar rumah dengan mengikuti berbagai kegiatan yang untungnya kegiatan positif. Aku dulu sering dan aktif ikut organisasi, berbagai kepanitiaan dalam berbagai kegiatan, bahkan aku sangat suka mengikuti kegiatan yang berbau religi. Tentu hal tersebut menyulitkan situasi ku sendiri pada masa itu. Sering merasa minder saat berada di lingkungan yang sebenarnya merupakan mimpiku. Sering merasa marah dengan orang-orang yang menganggap dirinya suci dan menganggap orang yang tidak seperti mereka pasti ahli neraka. Aku seperti orang yang menggali sendiri kuburannya. Seperti bermain-main api, panas dan menyakitkan dan bisa membahayakan tapi kehangatan api itu selalu kurindukan dulu. Pandangan aneh dari lingkungan sekitar sering kuperoleh saat aku mencoba mengikrarkan diri dengan pilihan hidupku dan berhijab. Pada masa remajaku masih sangat sedikit orang yang mengenakan hijab dalam keseharian. Dan apalagi dengan profesi orang tuaku, pilihan itu terasa sangat berat untukku dan untuk orang tuaku. Mereka takut dan marah, demikian juga denganku aku juga takut dan marah dengan pilihanku dan respon yang harus kuhadapi. Hari-hari berlalu terasa berat, apalagi tidak ada teman dan sahabat yang mengerti pilihanku tersebut. Mungkin karena kami masih sama-sama remaja dan labil jadi cara berpikirnya juga masih belum sebijaksana orang dewasa.

Sempat buka tutup dalam berhijab. Mencoba berkompromi dengan kondisi di lingkungan rumah, begitu kilahku waktu itu. Tetapi, tetap dengan menapaki jalan untuk meraih mimpi. Hingga jodoh mempertemukanku dengan lelaki sholih itu (sampai saat itu aku tidak pernah mengungkapkan kepada siapapun betapa rapuhnya aku). Aku tidak percaya dengan orang lain, aku tidak yakin mereka akan mengerti mimpiku dan keadaanku. Tapi Tuhan telah menunjukkan kuasaNya. Aku bertemu dengan orang yang baik hati dan mengerti aku. Alhamdulillah. Dan orang baik itu sekarang menjadi suamiku. J

Bersamanya aku mulai lagi rajutan mimpiku, dimulai dengan paksaannya untuk memberanikan diri menghijabi diri. Suamiku sampai rela pulang dari Bandung ke Jogja untuk memberiku kekuatan (pada tahun-tahun awal pernikahan kami harus LDR karena suami masih kuliah S2 di ITB Bandung). Dan pada hari suamiku pulang dari Bandung, aku diajak jalan-jalan (tentunya dengan berhijab) dan sesampainya di rumah tetap aku kenakan. Dan mencoba berhijab dengan sebenar-benarnya. Alhamdulillah berjalan dengan baik sampai sekarang.


Sebagian mimpiku sudah dikabulkan-Nya. Keluarga sakinah dambaanku selama ini, insyaAllah akan selalu kurajut bersama teman sejatiku (suamiku). Tapi, ternyata Tuhan masih menunjukkan kebaikanNya lagi. Aku diberikan petunjuk untuk dapat memperbaiki jalan masuk uang dalam keluarga orang tuaku, dengan tetap menjalankan usaha penginapan tetapi dengan konsep yang berubah dari penginapan konvensional menjadi berbasis syariah. Bismillah. J Sungguh nikmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustakan. Terima kasih Tuhan untuk segala rahmat dan segala kebaikan dan berbagai pembelajaran. Mohon ampun untuk segala kesalahan dan kemarahan yang dulu sering hadir.