Rabu, 26 November 2014

Hamil dan βHCg


Masih cerita tentang kehamilan saya. Ya, saya memang pernah mengalami berbagai rasa dalam menjalani kehamilan. Dari yang hamil tidak disadari dan keguguran, hingga hamil yang mengharuskan saya nginep di rumah sakit selama 21 hari serta hamil yang menyenangkan.

Ini cerita tentang kehamilan saya yang kedua. Setelah saya keguguran pada kehamilan pertama dan dilanjutkan dikuret. Maka saya dan suami bertekad untuk bersemangat agar segera dapat hamil lagi. Hingga dokter yang dulu menangani saya sewaktu keguguran menjadi konsultan kami untuk dapat segera hamil lagi.

Alhamdulillah kehamilan yang ditunggu itu datang lagi. Suka cita kami rasakan dan tentunya menjadi lebih hati-hati dan waspada. Setelah mengetahui saya hamil tersebut, saya rajin memeriksakan kandungan. Dan atas rekomendasi salah satu temannya, maka kami memilih salah satu dokter spesialis kandungan yang cukup senior dan terkenal di kota kami.

Kehamilan saya yang kedua ternyata tidak jauh berbeda dengan kehamilan saya yang pertama. Sama-sama terasa berat. Selama hamil ini saya hamper tiap hari muntah. Semua makanan yang saya makan pasti tidak lama kemudian akan keluar kembali.

Diminggu kesembilan masa kehamilan saya mengalami pendaharan kecil. Karena panic maka saya dibawa ke dokter yang selalu mendampingi kehamilan saya. Dan saya harus bedrest di kliniknya. Kejadian itu berlangsung beberapa kali jadi selama hamil tersebut saya harus bolak-balik menginap di klinik tempat praktek dokter langganan saya itu.

Karena berbagai masalah dalam kehamilan saya, alhasil bobot tubuh saya malah menurun drastis dari yang sebelum hamil 42 kg menjadi 37 kg di masa kehamilan masuk usia 5 bulan. Dan kondisi saya semakin parah karena saya juga malah mengidap batuk-batuk. Pendarahan pun selalu terjadi meski tidak banyak tetapi cukup membuat kami cemas.

Akhirnya karena tidak tahan melihat kondisi saya yang tidak kunjung membaik. Ayah saya mengusulkan agar saya di bawa ke rumah sakit swasta di kota kabupaten tempat kami tinggal. Dan hasilnya saya memang harus bedrest untuk dapat dilakukan observasi menyeluruh mengenai kondisi sebenarnya dari kehamilan saya.

Berbagai pemeriksaan saya jalani termasuk didalamnya adalah USG. Dari hasil USG itulah diketahui keanehan dalam rahim saya. Besar bayi dalam perut saya lebih kecil dari pada plasentanya. Dan hal itu perlu penyelidikan lebih jauh lagi. Saya harus menunggu lagi.

Selama proses menunggu itu saya menjalani tranfusi darah untuk mengganti/menambah HB saya yang hanya 6 (padahal ibu hami seharusnya Hbnya berada pada level 12). Sehari mendapat tranfusi darah saya malah mengalami sesak nafas, saya kesulitan bernafas. Dan itu baru pertama kali saya alami. MasyaAllah

Untuk meringankan kerja tubuh saya maka perawat memasang alat bantu pernafasan di hidung saya. Agak risih tentunya, karena saya memang belum pernah menggunakannya sebelumnya. Tetapi alat itu bekerja dengan baik, dan saya merasa pernafasan saya menjadi lebih lega.

Setelah diperiksa lebih dalam, ternyata kondisi saya memang membutuhkan penanganan serius. Dan pihak rumah sakit merujuk saya untuk dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar. Pindahlah saya ke rumah sakit yang ditunjuk.

Ternyata saya mengalami kehamilan di mana selain janin yang tumbuh terdapat juga jaringan lain yang ikut membesar. Dan itulah yang menyebabkan berbagai permasalah timbul selama saya hamil tersebut. Dari manakah jaringan itu muncul. Penjelasan dari dokter yang menangani saya bahwa jaringan yang tumbuh itu adalah sisa dari kuret yang belum bersih.

Jadi setelah dikuret sebaiknya tidak hanya di USG untuk memastikan tidak ada lagi jaringan tersisa di dalam tubuh. Tetapi harus dilakukan tes darah yaitu berupa tes βHCg. Tes ini digunakan untuk mengetahui adakah jaringan yang tumbuh di dalam tubuh. Dan biasanya nilai βHCg akan besar pada ibu hamil.

Jadi jika setelah dikuret tetapi nilai βHCg masih besar (dikisaran untuk ibu hamil) berarti masih ada jaringan yang harus dibersihkan. Cara membersihkannya yaitu dengan mengkonsumsi obat. Jika hasil βHCg normal berarti semua sudah normal dan ibu boleh hamil lagi jika menginginkan.

Hamil dan Infeksi Saluran Kencing


Setelah menikah ternyata saya tidak membutuhkan waktu lama untuk hamil, tetapi gejala awal kehamilan saya tidak dicurigai sebagai ciri orang hamil. Saya tidak mual muntah seperti orang hamil pada umumnya, tetapi saya mengalami gejala sering BAK dan BAK yang tidak tuntas dan menjadi sering ngompol karena tidak dapat menahan BAK.

Melihat itu, ibu mengajak saya ke bidan dekat rumah untuk memeriksakan diri. Tak tahu kenapa kok bidannya tanpa ba bi bu langsung mengatakan bahwa gejala yang saya alami itu mungkin dikarenakan cuaca yang sedang tidak bersahabat untuk tubuh. Sehingga sistem pembuangan saya bermasalah. Saya dianjurkan banyak minum air putih dan diberi beberapa jenis obat.

Bukannya membaik, saya kok jadi semakin sering BAK dan rasanya bertambah sakit. Tidak tahan, akhirnya saya menelepon salah satu rumah sakit untuk disambungkan ke bagian obsgyn dan diterima perawatnya. Bersyukur setelah mendengar keluhan saya, perawat itu memberikan penjelasan mengenai gejala yang saya alami tersebut. “Kemungkinan ibu hamil tetapi sepertinya juga ada infeksi saluran kencing.” Begitu suara di ujung telepon menjelaskan. Dan saya harus segera ke rumah sakit untuk memeriksakan diri.

Betul! Saya hamil, Alhamdulillah saya takjub mengetahui saya hamil. Hehehe karena baru pertama hamil jadi rasanya exited. Tetapi infeksi saluran kencing saya ternyata sudah parah dan saya harus bedrest di rumah sakit agar dapat  terus diobservasi. Saya telepon suami yang menetap di kota lain dalam rangka melanjutkan studinya. Dan jawabannya hanya satu “Tidak usah opname,takut ngerepotin bapak ibu.”

Ya, saya memang tinggal bersama dengan orang tua saya selama ditinggal suami melanjutkan sekolahnya di Bandung. Terpaksa saya menuruti perintah suami. Dan pulanglah saya ke rumah dengan berbagai macam obat yang harus saya minum dan habiskan.

Peristiwa subuh menjadi awal kisah saya yang lain. Setelah saya menunaikan sholat shubuh, perut saya terasa sakit seperti ingin BAB. Akhirnya saya ke kamar mandi dan ternyata yang saya keluarkan bukanlah kotoran tetapi segumpal darah yang diikuti oleh kucuran darah lainnya. Ya Allah apa ini? Saya belum pernah melihat maupun mengalaminya, tetapi firasat saya mengatakan ada yang aneh dengan saya. Apa yang terjadi dengan kehamilan saya?

Langsung saya memberitahu kejadian yang saya alami pada ibu saya. Seketika ibu menyuruh ayah untuk mengantar saya ke rumah sakit. Dan ternyata benar, saya keguguran dan harus dikuret. Saya diperintahkan oleh dokter untuk mulai puasa pada malam harinya untuk persiapan kuret yang akan dilakukan besok pagi. Baiklah, saya mencoba menguatkan diri dan saya sampaikan kabar ke suami.

Tibalah hari saya dikuret, tidak ada masalah. Hanya bius yang dimasukkan ke tubuh saya membuat pusing dan mual. Tapi hal itu tidak terlalu menyakitkan dibandingkan dengan kehilangan kesempatan saya menjadi ibu.

Setalah saya mengorek penjelasan dari dokter yang menangani saya. Ternyata salah satu penyebab infeksi saluran kencing yang saya derita adalah karena saya sering menahan BAK dan kurang banyak minum air putih. Saya memang agak risih kalau harus BAK di kamar mandi umum dan sering menahan BAK hingga sampai di rumah. Meski sekarang masih sering risih tetapi saya paksakan untuk tidak sering menahan BAK lagi dan lebih memperbanyak minum air putih.

Banner Giveaway Bunda Salfa [Update] Giveaway Ceritaku tentang Hamil dan Melahirkan

Jumat, 14 November 2014

Asyiknya Jadi Pengusaha Cilik

Sumber Gambar disini
 
 
 
Anak-anak saya sangat senang jika tiba hari Sabtu. Yaitu hari di mana mereka bisa membawa uang saku ke sekolah, karena selain hari Sabtu anak-anak dilarang membawa uang untuk jajan. Dan uang saku yang boleh dibawa itu tetap tidak boleh lebih besar dari Rp 2.000,- hehehe. Meski begitu mereka girang bukan kepalang J. Ya, karena Saturday is Market Day! Yeaayy!
Hari Sabtu memang hari yang seru, karena anak-anak boleh berjualan! Ya, mereka boleh berjualan apa saja asalkan tidak berjualan mainan. Dulu pernah diperbolehkan berjualan mainan tetapi karena lebih banyak masalah yang ditimbulkan daripada manfaatnya, maka jualan mainan termasuk yang dilarang sekarang.
Ketika mendengar gagasan tersebut dulu saya sempat berpikir “Ah masa anak-anak mau berjualan”. Tapi olala! Ternyata di luar dugaan saya, anak-anak banyak sekali yang berminat menjadi pengusaha cilik, termasuk anak-anak saya hehehe. Alhasil setiap hari Jumat sepulang sekolah mereka pasti heboh minta dibelikan barang dagangan. Akhirnya malam itu juga anak-anak beserta dengan saya dan sang ayah belanja makanan ringan untuk dijual di sekolah keesokan harinya.
Bersemangat sekali anak-anak dalam memilih jenis makanan yang ingin mereka jual. Meski kadang-kadang pilihan mereka hanya didasari oleh kesukaan mereka pada makanan tersebut dan tidak memperhatikan ‘selera pasar’ hehehe. Akhirnya kami para orang tualah yang harus menerangkan tentang jenis barang/makanan yang kira-kira laku di sekolah mereka J.
Selain saya, para orang tua murid yang lain juga ikut bersemangat menyambut hari Sabtu itu. Rasanya menyenangkan membayangkan anak-anak yang belum tahu nilai uang itu belajar berbisnis. Ya, karena selain seru ternyata banyak sekali manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut diantaranya yaitu:
1.      Meningkatkan PD anak
Kegiatan berjualan itu dapat meningkatkan rasa percaya diri anak. Mereka yang sedang menjual dagangannya secara tidak sadar memberanikan diri untuk dapat berinteraksi dengan orang lain. Untuk anak-anak yang mempunyai sifat kurang percaya diri maka dapat dibantu dengan menggunakan alat bantu seperti papan bertuliskan barang dagangannya dan harganya masing-masing dan diletakkan di depan barang dagangannya. Dan lama-lama anak yang mempunyai sifat pemalu itu akan semakin berani menawarkan barang dagangannya meskipun tanpa alat bantu. Dan lagi rasa percaya diri anak akan semakin meningkat jika mereka berhasil menjual barang dagangannya.
2.      Memupuk kejujuran dan rasa tanggung jawab pada anak
Jika biasanya barang yang dijual anak-anak itu seolah-olah lantas secara otomatis menjadi milik anak tersebut. Maka hal itu tidak berlaku untuk anak-anak kami. Mereka harus tetap melaporkan hasil dagangannya beserta barang yang tersisa jika tidak habis terjual. Meski pada akhirnya makanan/ barang yang tidak habis dijual itu tetap boleh digunakan/dimakan oleh anak-anak (harus ijin dulu). Nilai yang ingin kami tanamkan kepada anak-anak adalah kejujuran dan tanggungjawab. Tidak masalah jika barang yang dijual atau uang yang terkumpul ternyata tidak sesuai, asalkan jujur dan bertanggung jawab. Namanya juga belajar, dan tetap secara pelan-pelan diajarkan untuk teliti dan hati-hati.
3.      Meningkatkan keakraban antara orang tua dan anak
Secara tidak sadar kegiatan ini meningkatkan intensitas hubungan orang tua dan anak. Sejak mempersiapkan barang dagangan hingga ‘laporan pertanggungjawaban’, orang tua dan anak-anak menjalin komunikasi intensif. Dan kemungkinan besar hal tersebut akan lebih menarik dibandingkan dengan mengutak-atik gadget seperti yang sudah semakin biasa terjadi dewasa ini.
4.      Melatih anak menghargai uang
Dengan belajar menjadi penjual anak-anak menjadi tahu dari mana asal uang yang selama ini hanya mereka tahu menumpuk di bank atau di dompet orang tuanya hehehe. Sekarang mereka akan lebih memahami bahwa uang yang dimiliki oleh orang tua mereka tidak datang sendiri, tetapi uang itu ada karena ada kerja keras di baliknya. Sehingga dengan adanya kegiatan positif ini anak-anak kita menjadi lebih menghargai uang dan kerja keras tentunya.
5.      Belajar berhitung
Berjualan tidak akan pernah lepas dari pelajaran berhitung, baik itu penambahan, pengurangan, perkalian maupun pembagian. Dan disinilah anak-anak itu belajar dengan asyik tentang itu semua. Tak sadar mereka telah sangat mahir mengalikan, membagikan, mengurangkan dan menambahkan. Mereka tidak hanya membayangkan sesuatu yang mereka kalikan dan tambahkan itu, tetapi mereka benar-benar melakukannya. Luar biasa!
 
 
Banyak sekali bukan manfaat melatih anak-anak menjadi pengusaha sedari kecil? Kita sebagai orang tua harus selalu mendampingi dan terus mengarahkan mereka. Dan semoga kelak anak-anak itu tumbuh menjadi pengusaha-pengusaha handal dan jujur serta baik hatinya.
 

 

Menulis itu Seni yang Bisa Dipelajari


Saya pernah membaca bahwa penulis itu merupakan sebuah profesi. Sama seperti profesi lainnya yang dapat menghasilkan keuntungan misalnya profesi guru, profesi dokter dsb. Selain itu penulis itu juga pekerja seni, dan menulis itu disebut sebagai salah satu kegiatan yang bernilai seni. Saya sepakat dengan kedua pendapat tersebut.

Seseorang yang berprofesi sebagai penulis berarti juga sedang berusaha menghasilkan karya seni. Karena suatu karya yang indah itulah yang disebut dengan karya seni. Seseorang yang dapat menghasilkan suatu karya yang mempesona penikmatnya berarti berhasil dalam membuat sebuah karya seni yang indah.

Sama seperti aktivitas berkaitan dengan seni lainnya yang proses pembuatannya membutuhkan kedalaman hati dan pikiran, membuat tulisan juga membutuhkan keterlibatan hati. Tulisan yang dihasilkan sepenuh hati oleh penulisnya tentu akan menghasilkan tulisan yang ‘beda’ dengan tulisan lain yang dilakukan tanpa melibatkan hati di dalamnya. Kata-kata yang dihasilkan akan membius pembacanya.

Tetapi hebatnya menjadi seorang penulis tidak harus berbakat menulis. Mungkin seseorang yang tidak berbakat menari akan tetap terlihat beda dalam menarikan sebuah karya. Terlihat beda karena tidak seluwes dan segemulai orang yang memang berbakat menari dalam dirinya. Sebuah lagu yang sama yang dinyanyikan oleh orang yang berbakat menyanyi dan yang tidak tentu akan terdengar beda. Tetapi tidak untuk menulis.

Menulis lebih terkesan terbuka untuk siapa saja. Terutama terhadap orang yang bersedia melatih dirinya. Karena menulis harus dibiasakan. Dan ketajaman serta keindahan pemilihan kata dapat dicapai oleh bukan hanya orang yang berbakat menulis tetapi dapat juga oleh orang yang rajin menulis.

Itu yang saya yakini dan selalu menyemangati saya untuk terus menulis. Semangat!

Memantaskan Diri untuk Dicintai



“Aku dimadu mbak, dan aku tidak mempunyai kekuatan sehingga aku terpaksa tinggal serumah dengan maduku. Tak masalah jika aku diperlakukan adil, tetapi di rumah itu aku hanya bagaikan pembantu. Anak hasil pernikahanku dengan suamiku pun tidak mendapat perhatian selayaknya seorang ayah kepada anaknya. Dan aku ke sini untuk dapat bekerja dan mengumpulkan uang. Aku ingin segera mengajukan gugatan cerai!”

Termangu saya mendengar kisah rumah tangga yang dialami salah seorang kerabat jauh saya. Heran, sedih, prihatin tetapi saya juga ingin marah dan memaki sosok lelaki yang telah berlaku arogan tersebut. Tetapi setelah berbicara lebih lanjut dan mengenal lebih dekat dengan sosok wanita berperawakan subur itu, saya jadi memahami satu hal. Ketidakadilan yang dialaminya itu bukan serta merta terjadi karena arogansi sang suami tetapi faktor yang ada dalam sang istri juga turut andil.

Kejadian yang menimpanya mungkin bisa jika dimasukkan dalam kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT, bukan kekerasan secara fisik tetapi secara psikologis). Tekanan dan ketidakadilan yang dialaminya sebenarnya dapat menjadi alasan untuknya melakukan ‘perlawanan’.

KDRT yang marak terjadi dalam kehidupan berkeluarga menjadi salah satu ciri tidak adanya rasa cinta dalam keluarga tersebut khususnya pada pelaku tindakan KDRT. Rasa cinta yang telah memudar tersebut parahnya lagi malah berubah menjadi rasa benci. Rasa benci yang tumbuh tersebut lalu mengakibatkan tindakan KDRT.

Lalu mengapa perempuan seakan mudah menjadi korban KDRT? Ternyata sosok perempuan yang lembut dan terkesan nrimo tidak selamanya menguntungkannya. Tidak selamanya lelaki suka dengan semua itu. Mungkin itu pula yang terjadi dengan kasus di atas. Lantas apa yang harus dilakukan seorang istri untuk dapat tetap berbakti tanpa memposisikan diri seakan tanpa daya?

Berjuta pesona dan kekuatan sebenarnya tersembunyi di balik sosok lemah gemulai dan indahnya perawakan tubuh perempuan. Jadi jangan hanya diam terhadap sebuah ketidakadilan! Dan sebagai perempuan ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk meninggikan posisinya di mata suami.

Kuncinya yaitu jangan berhenti untuk menjadi pintar! Berusahalah untuk pintar! Dan percaya dirilah karenanya. Tak akan ada laki-laki yang betah berlama-lama terlibat hubungan dengan orang ‘kurang pintar’, kecuali jika lelaki tersebut memang tidak pintar. Seandainya pun ada, maka itu pastilah hanya sebagai basa-basi saja dan lama-lama akan tercium aroma basinya.

Membuka wawasan diri dan meningkatkan keindahan pribadi salah satunya dengan mencintai ilmu pengetahuan. Dengan mencintai ilmu pengetahuan kita akan selalu haus untuk mencarinya dan tak sadar meningkatlah nilai diri kita. Karena suami tidak hanya menginginkan kecantikan fisik tetapi juga mengharapkan kecerdasan dan kebijaksanaan pendamping hidupnya. Dan itu hanya dapat kita capai jika kita tidak pernah berhenti belajar dan membuka wawasan.

Dengan begitu semoga tak ada lagi kasus serupa dan berganti kekaguman dan pengakuan suami “Aku tak mau dan tak berani menyakiti istriku, karena dia pintar. Kalau aku menyakiti dirinya dan dia ‘memberontak’ maka akulah yang akan rugi dan menyesal.”

Karena cinta tidak akan bertahan lama tanpa kekaguman di dalamnya.

Rabu, 12 November 2014

Pentingnya Kerangka Tulisan


Sebenarnya saya sudah sering mendengar betapa pentingnya kerangka tulisan dalam sebuah karangan/tulisan. Ibarat bangunan yang membutuhkan pondasi maka sebuah karangan juga membutuhkan kerangka untuk dapat memudahkan proses pengerjaannya. Tetapi yang sering terjadi saya mengabaikan hal tersebut.

Bukan karena saya menganggapnya tidak penting, tetapi ternyata bagi saya lebih mudah membuat tulisan tanpa memulainya dengan kerangka karangan. Padahal itu jelas-jelas tidak bisa diabaikan. Itu merupakan langkah keliru yang dapat merobohkan bangunan karangan saya dengan sekali tiup.

Membuat kerangka tulisan sebenarnya sudah diajarkan sejak dulu ketika belajar pelajaran Bahasa Indonesia. Tetapi karena terlalu sering nulis diary yang biasanya pasti tanpa didahului kerangka tulisan, maka inilah jadinya. Saya jadi kagok untuk menuliskan dan menerjemahkan ide-ide ke dalam sebuah kerangka tulisan.

Lantas bagaimana cara membuat kerangka tulisan? Menurut berbagai sumber yang saya gali, maka inilah catatan saya yang bisa saya bagi.

Kerangka tulisan merupakan proses yang dilakukan sebelum menuliskan gagasan. Gagasan yang telah ada tersebut kemudian dibuat menjadi garis-garis besar dan kemudian dibuat rinciannya.

Dalam pembuatan kerangka karangan kita bisa mengikuti salah satu dari berbagai pola yang ada seperti berikut:

1.     Pola Alamiah Susunan adalah suatu urutan yang disesuaikan dengan keadaan yang nyata di alam. Pola ini biasanya dibagi lagi menjadi urutan berdasarkan ruang, berdasarkan waktu dan urutan topik.

2.     Pola logis. Biasanya berdasarkan pada urutan klimaks-anti klimaks, umum-khusus, sebab-akibat, proses dll.

Langkah-langkah dalam membuat kerangka tulisan yaitu

1.     Tentukan tema dan tujuan penulisan

2.     Kalau sudah ada tuliskan pula judul karangan yang ingin kita tulis

3.     Membagi kerangka karangan menjadi 3 bagian yaitu: pembukaan/pengantar, isi karangan dan penutup (biasanya berisi kesimpulan dan saran)

4.     Isi bagian-bagian di dalam langkah 3 dengan rinci.

Dalam proses belajar menulis, membuat kerangka karangan membutuhkan energi yang tidak sedikit. Karena jika biasanya tulisan dibuat hanya dengan menumpahkan semua isi pikiran, maka dengan membuat kerangka karangan ini kita seperti harus menahannya. Ide-ide yang ada di kepala harus diendapkan dulu dalam sebuah kerangka tulisan agar tulisan yang dihasilkan menjadi lebih tertata dan berwarna serta tentunya dapat menjelaskan maksud sebenarnya dari tulisan kita. Meskipun begitu membuat kerangka tulisan tidaklah mudah. Ada hambatan-hambatan yang biasanya membuat penulis pemula ingin mengabaikan proses ini. Apa sajakah hambatan itu? Mari kita simak.

Hambatan dan kesulitan dalam membuat kerangka tulisan bagi penulis pemula biasanya:

1.     Penulis kurang bisa mengembangkan ide. Sehingga tulisan yang dihasilkan tidak mengarah karena hanya ingin menghasilkan tulisan yang banyak saja.

2.     Tidak terbiasa memecah-mecah gagasan menjadi beberapa bagian yang lebih rinci.

3.     Inti dari kedua poin di atas adalah hambatan dalam membuat karangan lebih disebabkan karena kita tidak terbiasa dalam membuatnya. Jadi bisa dibiasakan unutk memulai suatu tulisan dengan membuat kerangkanya terlebih dahulu.

Untuk mengurangi kesulitan yang timbul dalam mulai belajar membuat kerangka, berikut terdapat beberapa tips:

1.     Tuliskan gagasan/ide tulisan yang ingin kita tulis. Ide itu bisa berupa satu kata atau lebih atau mungkin berupa kalimat.

2.     Pikirkan apa saja yang ingin kita bagi dalam tulisan kita. Informasi apa saya yang ingin kita sampaikan terkait dengan ide tulisan yang telah kita buat sebelumnya.

3.     Jika mengalami kesulitan dalam membuat kerangka usahakan satu topik bahasan dalam kerangka nantinya akan membentuk sebuah paragraf.

4.     Mengingat kembali pelajaran Bahasa Indonesia, bahwa dalam satu paragraf biasanya terdiri dari beberapa kalimat. Terdapat kalimat yang berisi kalimat utama dan ada satu atau beberapa kalimat pengembang.

Pembuatan kerangka tulisan ini dapat menggunakan suatu alat yang disebut peta pikiran. Alat yang dapat membantu kita dalam membuat peta pikiran salah satunya adalah XMind seperti yang tampak .

Contoh kerangka tulisan dibuat dalam XMind

Demikian pembelajaran bersama mengenai pembuatan kerangka tulisan. Semoga dapat mempermudah kita yang ingin memperbaiki proses penulisan kita.

Sumber:


http://goo.gl/fJm1B5

Transparansi dalam Pajak


Mendengar kata pajak pasti membuat sebagian besar orang akan menyingkir. Atau malah berusaha berpikir untuk dapat membayar pajak sekecil mungkin. Jadi slogan “Hari ini tidak bayar pajak? Apa kata dunia?” Itu bukan menjadi ancaman yang memalukan bagi para wajib pajak.

Tapi jangan langsung menyalahkan para wajib pajak. Karena kepercayaan rakyat khususnya para wajib pajak memang harus dimunculkan kembali setelah berbagai kasus yang menjerat para aparat di dirjen pajak.

Tetapi bukan hanya itu masalahnya. Bagi para wajib pajak, hak-hak yang melekat seiring dengan kewajiban membayar pajak sepertinya bukanlah hak yang sebenarnya harus diperoleh oleh wajib pajak. Mengapa demikian?

Hal itu karena dari sekian hak-hak wajib pajak semuanya berujung pada kewajiban yang hanya diperlonggar saja. Wajib pajak masih diperlakukan sebagai objek dan bukan subjek. Misalnya seperti yang tercantum pada buku panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, misalnya hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan.

Meskipun tujuannya adalah memberikan hak tetapi inti dari pemberian hak itu bukankah melakukan pengecekan terhadap kepatuhan pembayaran pajak sang wajib pajak? Lalu bagaimana dengan slogan lainnya yang berbunyi “Patuhi pajaknya dan awasi penggunaanya?

Bagaimana cara wajib pajak ini mengawasi penggunaan pajak yang telah mereka setorkan? Bagaimana para wajib pajak mengetahui uang-uang itu memang digunakan sebagaimana seharusnya? Seperti diakui Negara Indonesia ini sangat luas. Jadi bagaimana mereka bisa mengetahui seberapa besar penyerapan uang pajak mereka kepada Negara? Ekstrimnya lagi apakah uang yang telah disetorkan benar-benar digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat?

Berbagai dokumentasi mungkin dimuat di media cetak maupun elektronik. Tapi sejelas apakah berbagai bukti itu mampu meyakinkan dan jlentrehke banyaknya uang yang telah wajib pajak setorkan?

Kurangnya kejelasan transaksi apa saja yang dikenakan pajak juga terasa menjebak para wajib pajak. Banyak menerima surat peringatan dan himbauan untuk pembayaran pajak yang bahkan para wajib pajak tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu ada pajaknya. Sampai-sampai terlintas di pikiran “jangan-jangan duduk di taman kota juga harus bayar pajak?” hehehe.

Para pemangku kepentingan di dirjen pajak seharusnya memang harus segera mengerahkan pegawainya, agar lebih memberikan pencerahan mengenai seluk beluk pajak. Agar tidak ada lagi perasaan terjebak dari wajib pajak. Brosur-brosur dan selebaran yang menerangkan hal itu sangat bisa membantu para wajib pajak.

Dan ada satu lagi yang mungkin dapat meningkatkan kepercayaan wajib pajak, mengapa sejak dulu hingga kini tidak pernah ada semacam klarifikasi dan pertanggungjawaban dari Negara dalam hal ini dirjen pajak sebagai instansi yang mengurusi perpajakan? Laporan pertanggungjawaban itu selalu ada meski untuk penggunaan dana yang kecil, misalnya laporan tahunan penggunaan dana di sekolah, dan mungkin bahkan di lingkungan RT. Tetapi mengapa laporan pertanggungjawaban itu tidak wajib pajak terima dari Negara dalam hal ini dirjen pajak?

Para wajib pajak berhak mengetahui berapa besar pemasukan dari pajak dan digunakan untuk apa saja uang hasil pajak tersebut. Di era yang sudah sangat memudahkan pertukaran informasi, bukankah mudah dan murah mengirimkan laporan pertanggunjawaban tersebut kepada wajib pajak?

Pengiriman itu bisa melalui pos, maupun digelar di media cetak bahkan bisa juga lewat jaringan internet melalui email ke masing-masing wajib pajak.
Kejelasan penggunaan dana itu penting bagi wajib pajak, agar mereka yakin bahwa mereka tidak sedang memberi makan Gayus-Gayus yang lain. Dan agar para wajib pajak yang ingin taat pajak itu dapat ikut mengawasi penggunaan pajak dengan maksimal. Jangan sampai tidak ada yang mengetahui bahwa penggunaan pajak mungkin hanya digebyah uyah untuk hal yang tidak terlalu signifikan dan tidak mendesak.

Hati-hati dengan Komunitas Menulis!


Agak terhenyak ya membaca judulnya? Judul di atas memang terkesan menyudutkan keberadaan komunitas menulis yang akhir-akhir ini semakin menjamur. Tapi suerrrr… bukan itu maksudnya!

Banyaknya komunitas penulisan memang sangat menggiurkan bagi kami para pecinta dunia menulis dan blog. Bukan tanpa alasan kami ingin terlibat pada banyak komunitas dan grup penulisan. Hal itu karena kami ingin mempunyai kesempatan lebih luas untuk belajar.

Pada komunitas penulisan kami kerap mendapatkan ilmu yang selama ini kami tak pernah tahu. Disamping itu semangat dari orang yang mempunyai passion sama membuat kami merasa bahwa kami tidak sendiri. Saat kesulitan-kesulitan dalam proses pembelajaran penulisan itu bertubi-tubi mencoba menghentikan langkah kami, kami tidak serta merta berputus asa.

Para penulis senior dan para blogger yang telah lama malang melintang di dunia maya adalah guru kami. Terima kasih banyak untuk ilmunya. Maaf jika kami khususnya saya sering datang tak diundang dan pulang tanpa kabar (alias tidak meninggalkan jejak). Setelah ini mudah-mudahan akan ringan jari ini untuk meninggalkan jejak komentar di tulisan para guru semua. J

Tapi mengapa saya mengatakan harus hati-hati terhadap banyaknya komunitas penulisan? Itu tak lain semata-mata karena keterbatasan saya sebagai manusia. Tak banyak waktu yang bisa saya lakukan jika saya harus mengikuti begitu banyak kelompok dan grup penulisan. Yang ada saya malah asyik blogwalking. Terus kapan saya nulisnya? Hehehe

Jadi menyikapi banyaknya komunitas dan grup penulisan itu baiknya kita tahu dulu gaya tulisan kita. Mungkin ada yang mempunyai gaya penulisan sastra, suka dengan penulisan ilmiah, atau yang lainnya. Nah itu bisa jadi filter untuk kita memilih komunitas penulisan yang mana yang harus kita ikuti.
Komunitas penulisan itu semuanya sangat bagus, keren dan menggiurkan bagi para pecinta penulisan. Tetapi hati-hati, jika kita melahap semuanya, bukan tulisan yang kita hasilkan tapi hanya mimpi yang berkepanjangan. Salam semangat!

Selasa, 11 November 2014

Berprasangka Baik Kepada-Nya


Pernah suatu ketika di sebuah kajian rutin yang saya ikuti, seorang teman menyeletuk sebuah hal yang membuat saya cukup lama merenunginya bahkan berusaha mencari jawaban dengan mengajak berdiskusi beberapa orang yang saya anggap “mengerti”. Ketika itu, pembicaraan menyoroti masalah syukur dan mensyukuri segala nikmat yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya.

Ketika semua orang sedang khusuk menyimak, salah seorang teman saya tersebut berujar “Tapi menjalani kehidupan saat ‘diatas’ tentu lebih mudah kan ya bu, dari pada menjalani kehidupan saat berada ‘dibawah’.”  Saya agak tersentak dengan kalimat yang diucapkan teman saya tersebut. Dan berbagai jawaban berusaha saya cari untuk dapat menolak anggapan ibu itu. Hingga beberapa hari setelahnya, pernyataan mengagetkan itu masih saya cari jawaban sebenarnya.

Setelah beberapa hari kemudian, ada jawaban dari teman saya yang saya ajak diskusi mengenai hal tersebut. Dari pembicaraan tersebut satu kesimpulan yang dapat diambil bahwa, sikap tersebut dapat dengan mudah menunjukkan bahwa orang yang merasa demikian adalah orang yang belum dapat menerima segala karunia-Nya dan mungkin belum dapat mensyukurinya. Padahal menurut saya, orang yang tidak dapat mensyukuri segala ketentuan-Nya berarti orang tersebut sedang membuka pintu-pintu kemalangan yang lain.

Benar sampai saat kalimat itu meluncur dari teman saya, tidak pernah terlintas akan ada ungkapan perasaan yang saya anggap jujur tersebut. Peristiwa tersebut selalu teringat dalam pikiran saya. Perasaan takut menyelinap dalam diri saya, saya sangat takut jangan-jangan saya juga seperti itu. Menerima saat bahagia tetapi memberikan penolakan terhadap kemalangan.

Ah tapi apakah kemalangan itu? Benarkah sebuah kemalangan memang kemalangan untuk kita? Ternyata tidak! Kita saja mungkin yang kurang menyadari bahwa kemalangan yang kita rasakan itu sebenarnya bukanlah kemalangan, karena terselip kebaikan dan keindahan di baliknya.

Peristiwa yang kita anggap kemalangan itu bisa jadi adalah perlindungan-Nya terhadap keburukan di sebalik kebahagiaan yang kita agungkan sebelumnya. Lalu apakah pantas kita menerima kebahagiaan dan menolak sebentuk tekanan? Tanpa kita tahu maksud sebenarnya? Harus menjadi pegangan bahwa kita memang harus senantiasa mengingat untuk selalu berprasangka baik pada-Nya.

Jika kita meyakini bahwa apapun yang kita miliki adalah kebaikan yang diberikan untuk kita, maka semoga kejadian apapun tidak akan mengurangi nilai kecintaan kita pada pengupayaan meninggikan derajat kita dihadapan-Nya.

Kebenaran Tidak Akan Datang Terlambat


Pernahkah teman-teman merasa galau terhadap suatu perkara? Bingung untuk melangkah ke kanan atau ke kiri? Gamang ketika akan melakukan kebaikan dan kebenaran? Semakin tua usia bumi ini semakin dilengkapi dengan berragamnya godaan di dalamnya. Seakan syetan dan iblis telah memenuhi seluruh pelosok di berbagai belahan dunia ini.

Tidak hanya menyerang anak-anak dan kaum muda, kegamangan bertindak juga dialami oleh kaum dewasa dan lanjut usia. Berapa banyak dari kita yang lebih malu menunjukkan kebaikan daripada keburukan? Mengapa orang-orang menjadi lebih mudah berperilaku seenaknya tanpa mengenal susila?

Jawabannya sudah jelas, mereka tidak sabar menunggu hasil setia pada kebenaran itu datang. Keyakinan terhadap nilai kebenaran sudah semakin memudar. Benar begitu? Budaya serba instan semakin memperparah keadaan. Kesabaran pada proses pencarian dan kesetiaan pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan seakan sudah tidak dihiraukan.

Sehingga para pecinta kebenaran memang harus berjuang lebih keras untuk melewatinya. Ketika satu persatu orang mulai kehilangan kepercayaan dirinya terhadap kebenaran. Mengharuskan para pecinta kebenaran selalu mengingatkan diri sendiri untuk tidak terbawa. Kecintaan pada proses inilah yang harus sering didengungkan di telinga. “Cintailah proses ini, karena dialah yang akan mendewasakan dengan sebenarnya. Bukan dewasa karbitan yang harus matang sebelum waktunya”.

Ya! Karena berjuang dalam kebenaran itu tidak instan. Ada proses yang harus dilewati untuk membuktikannya. Meski sebenarnya kebenaran itu tidak akan mungkin datang terlambat. Dia akan menunjukkan ajinya pada saatnya tiba. Kita hanya perlu meyakini dan setia terhadapnya. Itu saja.

Berbahagialah Wahai Istri


Semua wanita termasuk saya pasti ingin menjadi istri yang baik. Tak ada yang menikah untuk menunjukkan pada dunia bahwa dia seorang wanita kasar, tidak penurut, rewel bahkan sering menyakiti hati suaminya. Tetapi mengapa tetap saja masih bertebaran istri yang seperti tersebut di atas? Apa masalahnya?

Padahal sudah jelas-jelas disebutkan dalam sebuah ajaran bahwa kewajiban seorang istri adalah tunduk pada perintah suaminya selama perintah suaminya itu tidak bertentangan dengan perintah agama. Tetapi kenapa semua seakan hanya hiasan bibir semata?

Bukan tanpa sebab masih ada istri yang berlaku tidak manis pada suaminya. Sejujurnya sebagai seorang istri dari lubuk hati yang terdalam ingin mengabdikan hidupnya untuk berbakti pada suaminya. Tetapi kok susah sekali menjalankannya?

Seorang istri yang selalu dituntut menyelesaikan urusan rumah tangga lebih sering tersulut emosi. Memang berat mengendalikan emosi apalagi jika lelah telah mengerubungi seluruh badan. Bukan senyuman yang disunggingkan, berganti rentetan omelan dan muka masam. Dan dapat dipastikan berakhir dengan rasa sesal yang mendalam.

 “Ah hari ini aku gagal lagi…aku gagal mengendalikan emosi” Begitulah kira-kira yang terlintas di pikiran seorang istri. Karena mereka tidak benar-benar ingin mendurhakai suaminya, apapun bentuknya.

Selama 10 tahun pernikahan, saya juga mengalami semua itu. Jatuh bangun saya coba menata hati dan diri untuk menjadi istri yang menyejukkan pandangan suami. Dan itu tidak mudah! Hal itu semakin diperparah oleh kejenuhan yang melanda istri. Rutinitas sebagai ibu rumah tangga yang setiap hari mengurusi rumah dan anak-anak otomatis membatasinya memiliki waktu untuk menyenangkan diri sendiri (bahasa kerennya: me time).

Menjadi lebih bahagia! Itulah kuncinya. Setiap orang yang bahagia tentu lebih mudah membagi kebahagiaan untuk sekitarnya. Demikian pula istri yang bahagia, pasti juga akan menularkan kebahagiaan itu untuk suami dan anak-anaknya.

Lalu bagaimana kebahagiaan itu dapat diperoleh jika tumpukan tugas sebagai ibu terasa sangat menghimpit? Bagaimana untuk mendapatkan “me time”? Ada beberapa cara yang bisa dipraktekkan untuk menghilangkan kemurungan di hati istri dan berimbas pada kebaikan perilakunya.

1.     Suami yang memahami istrinya tentu tahu bahwa istrinya pasti akan mengalami kejenuhan apalagi jika suami terlalu sibuk bekerja. Jadi sekali-kali mengajak istri bercanda dan berbincang santai itu perlu, jika tidak memungkinkan untuk menyegarkan pikiran di luar rumah. Kadang karena tumpukan kebutuhan sang suami menjadi lupa perlunya bercengkrama dengan istri dan anak-anak untuk menyegarkan hati dan pikiran. Saya rasa kebersamaan itu juga tidak hanya untuk kepentingan istri tetapi juga untuk suami.

Jadi kalau boleh membuka satu rahasia istri, istri yang belum berlaku sebagai istri yang baik dan masih sering durhaka pada suami, kemungkinan merindukan canda tawa dan kehangatan dalam keluarga terutama dari suaminya. Saat pikiran dan perasaan tenang dan bahagia, segala rutinitas, kerumitan dan permasalahan rumah tangga tidak akan mengurangi kedamaian di dalamnya.

2.     Lalu bagaimana jika suami bukan tipe pengertian dan masih saja sibuk dengan pekerjaan dan kesibukannya sendiri? Ah tidak perlu khawatir, temukan saja bahagiamu sendiri wahai istri. Cari tahu apa-apa yang biasanya menenangkan hatimu lalu lakukanlah. Jika engkau sangat gemar membaca maka turutilah itu, jika engkau gemar menulis maka menulislah di sela-sela kesibukanmu dsb.

Tetapi yang perlu diingat lakukan dan cari kebahagiaanmu tanpa mengurangi tanggung jawabmu sebagai istri dan ibu. Karena disamping kita mempunyai hak untuk bahagia kita juga punya kewajiban untuk membahagiakan suami dan anak-anak kita.

3.     Terlepas dari semua di atas, kebahagiaan hakiki adalah karunia-Nya. Jadi tetap menjadi hamba yang dekat dengan-Nya akan memberikan kedamaian dan kebahagiaan.

Dengan begitu tak akan ada lagi muka masam dari wajah indahmu wahai istri, tak ada lagi rentetan omelan darimu. Semua mendung di wajahmu akan berganti cerah dan kebaikan yang akan menyinari seluruh keluargamu.

Minggu, 09 November 2014

Bukan Malaikat


Menjalani hari dengan berbagai rutinitas biasanya membuat orang lupa terhadap hak masing-masing bagian tubuhnya. Karena setiap detil tubuh itu tidak pernah berteriak, maka anggapan kita semua masih baik-baik saja. Mungkin rasa sakit dan letih baru menyadarkan otak kita bahwa tubuh kita juga perlu beristirahat.

Tetapi seringkali terlupa dan tidak terdengar keluhan dari bagian tubuh yang satu ini. Ya, bagian tubuh yang satu ini memang terkenal pendiam dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain. Dan bagian tubuh itu biasa kita panggil “hati”.

Seringkali kita tanpa sadar melupakan bahwa hati juga membutuhkan “me time-nya”. Berbagai macam aktivitas yang ditengarai disebabkan oleh semakin meningkatnya kebutuhan dan tanggungjawab membuat diri lupa mengistirahatkannya.

Alarm hati sebenarnya mungkin telah sering berbunyi, tetapi karena tekanan kesibukan hingga tidak terdengarlah oleh kita suara alarm hati tersebut. Bagaimana mungkin alarm yang berbunyi sampai tidak terdengar? Hmmm, alarm hati ini tidak berbunyi. Ya, karena justru alarm ini hadir tanpa bunyi.

“Hampa”, hanya itu yang disuarakan oleh hati saat ia membutuhkan waktunya untuk di-charge. Rasa hampa dalam dada yang biasanya membuat seseorang bingung harus bagaimana untuk mengisi kekosongan hatinya tersebut. Nah, saat itulah hati sedang butuh di-charge!

Kebalikan dari rasa hampa itu adalah perasaan tenang dan damai dalam hati. Terjadi gonjang-ganjing model apa pun tidak akan mempengaruhi ketenangannya. Hidup jadi penuh rasa syukur dan jauh dai keluh kesah.

Jika salah dalam mengobati hampa di hati bisa-bisa terjerumus dalam tindakan yang sia-sia atau mungkin malah lebih parah lagi: masuk ke kubangan dosa. Karena kita masih manusia dan belum berubah menjadi malaikat, maka bolak-balik dan naik turun ketenangan dalam hati bisa menyerang kapan saja.

Ya, karena kita bukan malaikat maka kita masih harus senantiasa menyempatkan diri untuk memberikan hak hati kita. Bukan dengan kesenangan dunia, karena itu hanya sesaat. Tetapi ketenangan yang hakiki adalah hasil dari kedekatan kita dengan Sang Pemilik hati. Semoga kita semua diberi kesempatan dan kekuatan untuk dapat memberikan hak bagi hati kita. Semoga J

Kamis, 06 November 2014

Cari Lingkungan yang Baik dan Membaikkan!


Pernahkah teman-teman merasa sangat malas melakukan apapun? Pinginnya hanya leyeh-leyeh di depan TV, ganti-ganti chanel TV hingga tak terasa waktu berjalan sangat cepat dan kita hanya mendapatkan sebuah kehampaan?
Jujur saya lumayan sering merasa demikian (hehehe malu saya…), tapi ya itulah yang terjadi dan memang harus saya akui. Hal tersebut seringkali tak sadar melenakan kita, berdalih ah hari ini santai-santai saja, toh kemarin-kemarin sudah bekerja sangat keras.
Hmmm bolehlah bersantai, toh tubuh kita juga punya hak untuk beristirahat dan bersantai sejenak. Tetapi jangan keterusan, karena sesuatu yang melenakan itu biasanya mudah berubah menjadi candu.
Kecanduan itu saya lihat sebagai suatu aktivitas yang berlebihan. Jadi harus dihilangkan. Segala sesuatu yang berlebihan kan tidak baik, begitu kan kata orang bijak?
Lalu apa yang harus dilakukan jika kita mulai merasa kecanduan terhadap sesuatu, terutama yang bisa berdampak buruk pada diri kita? Contoh paling dekat dengan dunia kita misalnya kita kecanduan nonton drama korea, kecanduan nonton infotainment, kecanduan nonton sinetron dll. Contohnya ibu-ibu banget ya? Maklum yang nulis memang ibu-ibu.
Nah tak sadar kita telah membuang banyak waktu untuk melakukan berbagai aktivitas tidak penting seperti di atas. Mengapa tidak penting? Ya karena itu hiburan, dan akan menjadi tidak penting karena kita jadi melupakan aktivitas yang lebih produktif lainnya hanya untuk hiburan semata. Eman-eman kalau kata orang Jawa.
Saya juga termasuk orang yang sangat senang dengan sesuatu yang melenakan, sesuatu yang hanya santai-santai tetapi tetap bisa kenyang makan enak, hidup sukses. Tapi itu sudah pasti akan selesai di angan-angan saja. Karena di luar sana, banyak orang tidak lelah bergerak untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Saya bersyukur berada di lingkungan yang sangat aktif dan mencintai produktivitas. Serta tidak suka dengan segala macam bentuk kemalasan. Dulu saya sering menjadi korban kemarahan lingkungan terdekat saya hehehe. Apalagi sebabnya, kalau bukan karena sifat saya yang cenderung mengabaikan waktu.
Pelan tapi pasti, saya pun mulai tersadar, apakah saya hanya akan selesai di dunia ini tanpa membawa bekal apa-apa? Apakah saya tidak ingin meninggalkan kesan baik untuk anak keturunan saya? Sehingga saya mendorong diri untuk segera bangkit dan ikut berlari mengejar mereka yang mungkin telah jauh meninggalkan saya.
Mencari lingkungan yang baik dan membaikkan memang mutlak untuk kita yang senantiasa ingin memperoleh kebaikan selama hidup kita dan untuk bekal kita ke “sana” nantinya.
Semoga kita dimudahkan dalam mendapatkan lingkungan itu. Semoga saja. J