Menjadi ibu rumah tangga dengan hiruk pikuknya membuat
saya semakin mencintai profesi saya ini. Profesi yang masih sering menimbulkan
perdebatan di batin masing-masing diri. Profesi yang oleh sebagian orang masih
dianggap sebagai profesi yang diisi oleh perempuan yang tidak cerdas dan tidak
mandiri. Profesi yang kadang seseorang masih lirih untuk mengakuinya.
Lalu mengapa anggapan miring mengenai ibu rumah tangga masih
saja ada? Ah tidak perlu terlalu memikirkan anggapan tersebut! Karena semua itu bukan untuk dipermasalahkan maupun diperdebatkan. Yang perlu
dilakukan adalah memberikan bukti nyata yang dapat membalik semua anggapan
miring tersebut. Sehingga yang ada bukan lagi berdebat masalah profesi melainkan kualitas pribadi. Benar begitu Moms? :)
Ibu rumah tangga adalah profesi yang sangat membutuhkan kekuatan mental dan fisik. Kekuatan mental dibutuhkan salah satunya untuk menghadapi berbagai cibiran dan tatapan merendahkan dari sebagian orang, bahkan mungkin dari pihak keluarga. Disamping itu kekuatan mental juga dibutuhkan untuk menghadapi berbagai persoalan dan permasalahan yang senantiasa hadir di setiap episode kehidupannya sebagai ibu dan istri, yang harus dapat diatasi dan diselesaikan oleh ibu. Berbagai pernak pernik permasalahan rumah dan anak tanpa disadari menguras energi.
Kekuatan fisik sangat dibutuhkan dan tentunya hal ini tidak perlu dijelaskan panjang lebar bukan? Karena setiap orang pasti sudah sama-sama setuju beratnya tugas domestik yang harus diselesaikan setiap hari. Mulai dari memasak, mencuci, membereskan rumah, jasa antar jemput anak, menemani anak belajar dan bermain serta melayani semua kebutuhan suami. Itu semua adalah tanggung jawab seorang ibu.
Menjalani profesi ini sejak menikah hingga hari ini, tentu tidak serta merta saya terima dengan senyuman. Hal tersebut didorong banyak hal, terutama beban karena sikap dari pihak yang menyayangkan keadaan saya yang “hanya” menjadi ibu rumah tangga dan tidak berkerja/berkarier di kantor seperti teman-teman saya. Tingkat pendidikan dan prestasi akademik saya, bisa dibilang cukup untuk saya dapat bekerja di kantor seperti yang diinginkan banyak pihak. Tetapi tidak saya lakukan.
Saya meyakini satu hal. Dalam suatu rumah tangga suami dan istri ibarat satu tim sepak bola yang bertujuan memenangkan pertandingan. Tujuan memenangkan pertandingan di sini yaitu mencapai keluarga yang harmonis dan bahagia yang sejahtera. Jika satu pihak bertugas menyerang dan terlihat berbakat menyerang, maka pihak lain harus menjalankan fungsi penting lainnya yaitu bertahan.
Dan sebagai ibu saya beranggapan, tanggung jawab saya adalah menjaga harta suami. Harta suami ini bukan hanya harta dari sisi materi saja, tetapi anak dan harta berupa kebahagian dan ketenangan lahir batin juga harus diusahakan. Sekian tahun saya lewati sebagai ibu yang urusannya hanya di persoalan dapur, kasur, sumur, halaman rumah dan di ruang tengah untuk menemani aktivitas anak-anak. Tidak dipungkiri kejenuhan pasti sering menghantui, apalagi jika suami mempunyai kesibukan tinggi. Sehingga waktu bercengkerama menjadi terkurangi.
Menjalani aktivitas yang kadang membosankan tersebut akan menjadi suatu bencana jika dilalui dengan berbagai keluhan, marah-marah dan sikap negatif lainnya. Tapi jika dijalani dalam ketulusan dan senyuman, pasti lebih menentramkan. Pernah suatu kali, karena saya sangat merindukan saat-saat saya berada di tumpukan buku di toko buku. Akhirnya saya nekat mengajak anak-anak saya yang masih kecil-kecil, untuk pergi ke toko buku bertiga tanpa suami, dengan menggunakan angkutan umum! Pada saat itu anak-anak saya masih berumur sekitar 2,5 tahun dan 1,5 tahun. Karena menggunakan angkutan umum maka kami harus menunggu angkutan umum tersebut lewat.
Cukup lama hingga akhirnya datanglah mobil berplat kuning yang kami tunggu. Demi kenyamanan, saya memilih duduk di depan di samping sopir. Baru saja pintu mobil dibuka dan saya berusaha duduk, entah karena melihat tampang pak sopirnya atau karena mendengar suaranya yang menggelegar, anak-anak saya histeris dan menangis sekencang-kencangnya. Aduh malunya saya, seluruh penumpang memperhatikan kami bertiga atau mungkin malah kasihan ya dengan kami. Tetapi karena sudah terlanjur naik, saya tetap duduk dan berusaha tenang. Saya berusaha membujuk anak-anak saya agar berhenti menangis. Meski agak lama, akhirnya mereka lebih tenang.
Dan sampailah perjalanan kami di tempat yang dituju. Berbinar mata ini melihat toko buku langganan yang sudah lama tidak saya datangi. Karena mengajak anak-anak, aktifitas saya di toko buku jadi tidak leluasa seperti dulu. Saya sibuk mengikuti kemana kaki-kaki kecil itu melangkah, menyusuri rak-rak buku yang baru mereka temui. Saat itu saya merasakan kebahagiaan, meski tak sebebas dulu. Hal itu juga senantiasa saya rasakan selama saya menjalani hari-hari saya bersama mereka, hingga kini mereka telah berumur lebih dari 6 tahun. Saya memilih senantiasa mendampingi dan menjalaninya dengan bahagia. Ya, karena inilah bahagiaku! :)
Tak lagi takut bepergian dengan angkutan umum hehehe
Ini bahagiaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar