Jarak kelahiran antara anak saya yang pertama dan
kedua sangat dekat. Mereka hanya selisih 1 tahun 6 hari. Ya! Saya mengandung
untuk anak yang ke dua setelah 3 bulan saya melahirkan anak saya yang pertama.
Sangat mengagetkan bagi saya. Dan tentu juga sangat melelahkan. Lelah, baik
secara fisik maupun psikis. Suami termasuk orang yang sangat bertanggung jawab
untuk urusan mencari nafkah. Sehingga, urusan domestik, mutlak menjadi otoritas
saya.
Selama hamil anak yang kedua tersebut, belum begitu
terasa repotnya. Meski tidak bisa dikatakan mudah. Sambil mengurus anak yang
pertama, saya tetap mengurus segala tetek bengek urusan rumah tangga dan anak.
Belum terpikir untuk mencari ART. Karena saya merasa masih mampu melakukan semua
sendiri. Hingga anak kedua lahir, urusan pengasuhan anak saya lakukan sendiri.
Repot? Iya tentu saja. Tetapi saya menikmatinya. Karena semua dilakukan
sendiri, tak sadar waktu terus berlari. Hingga anak telah mencapai masa untuk
dikenalkan dengan lingkungan sekitar. Dan saya mungkin agak terlambat
melakukannya.
Hingga tiba saatnya saya harus memasukkan anak-anak ke
sekolah, untuk dapat melengkapi proses perjalanan kehidupan mereka. Mereka
berdua bersamaan saya daftarkan di sekolah yang sama. Maksud saya agar mereka
saling menguatkan. Karena anak-anak sangat lengket dengan saya, maka proses ini
sangat berat bagi kami. Hampir setiap hari, selama satu bulan, anak-anak saya
menangis di sekolahnya. Mereka menangis bergantian! Sepanjang waktu selama di
sekolah! Selama di sekolah mereka tidak bersedia bermain bersama
teman-temannya, apalagi urusan makan dan minum.
Kerja sama dengan pihak sekolah sangatlah baik. Para
guru dengan sabar menemani dan mendekati anak-anak saya. Membuat anak-anak saya
menemukan kenyamanan di lingkungan barunya tersebut. Meskipun begitu, saya
hampir putus asa dan berniat menarik salah seorang anak saya yang paling kecil.
Hal tersebut saya maksudnya untuk mengurangi kerepotan bagi para guru. Hingga
tiba waktu menjemput anak-anak. Saya sudah membulatkan tekad, untuk mengatakan
niat saya tersebut pada guru dan kepala sekolah tempat anak saya bersekolah.
Dengan tegang saya memasuki pintu gerbang sekolah anak
saya tersebut, dan disambut oleh senyum manis seorang guru. Sambil tersenyum
sang guru tersebut berujar “Alhamdulillah Bu, hari ini anak-anak sudah bisa
bermain bersama teman-temannya, mereka juga mau makan.” Seakan tidak percaya
saya meminta kejelasan dari maksud ucapan guru tadi, dan dijawab oleh senyuman
dan tawa riang guru tersebut. Lega hati saya mengetahui hal tersebut. Apalagi saat
saya menyaksikan anak-anak saya saat tengah asyik bermain pasir bersama dengan
anak-anak yang lain.
Rasanya ucapan terima kasih tidak cukup untuk
menggambarkan betapa besar kebahagian saya kala itu. Apalagi untuk dapat
membalas jasa para guru tersebut terhadap kami, terutama anak-anak itu. Hanya
doa tulus terselip di balik senyum bahagia saya, semoga kebahagiaan, kebaikan
dan kesejahteraan selalu menyertai para guru semua. Kebaikan dan ketulusan
kalian memberikan nilai-nilai kebaikan pada anak-anak yang sedang belajar dan
berproses. Keindahan proses ini semoga terpatri dalam dada anak-anak ini. Hingga kelak dirinya dewasa, mereka memiliki tabungan cinta di dalam jiwanya untuk dapat disebarkan dan demi kebaikan semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar