Hari ini ditelpon anak kedua. Percakapan mengalir seperti biasa. Kami adalah ibu dan anak yang berusaha untuk berbagi cerita, terutama saya. Karena saya ingin agar anak-anak juga begitu terus nantinya. Diantara isi percakapan itu adalah pertanyaan "Umi sedang apa? Umi habis melakukan apa? "Umi akan melakukan apa?" Atau gantian saya juga akan bertanya hal yang sama "Hari ini kamu ngapain aja?, Kegiatan hari ini atau nanti apa?" Lalu ada jawaban yang tidak memuaskan saya. Jawaban itu adalah "Gak ngapa-ngapain." Jawaban yang sederhana tapi tidak akan menjadi sederhana jika diteruskan begitu saja. "Gak ngapa-ngapain itu maksudnya apa? Definisi dari gak ngapa-ngapain itu apa? Umi kok gak ngerti ya kenapa ada orang yang gak ngapa-ngapain?" Rentetan pertanyaan itu lebih berkesan protes dan tidak suka dengan jawabannya. Ya, memang benar saya tidak menyukai jawaban itu. Bukan karena semata-mata dijawab demikian tetapi lebih karena jika dibiarkan itu akan menjadi kebiasaan yang kurang menyenangkan. Jawaban "Gak ngapa-ngapain" itu berarti dari tadi tidak melakukan aktivitas atau melakukan aktivitas tapi jiwa raga tidak menyadari bahwa sekecil apa pun aktivitas itu tetap mempunyai makna. Padahal kesadaran itu akan membuat orang bisa mengontrol aktivitas apa saja yang boleh dilakukan dan apa saja yang tidak. Semakin orang itu sadar bahwa setiap yang dilakukan adalah aktivitas dan ada artinya maka berarti dia tahu sejauh mana dirinya telah melakukan sesuatu dan apakah ada manfaat dari lakunya hari itu. Dan juga kesadaran itu akan memberikan rasa syukur dan semangat karena hari itu kita telah melakukan sesuatu. Hal itu juga bisa menekan perasaan gabut yang sekarang sering kali dilontarkan anak muda. Rasa gabut menurut definisi yang saya peroleh di Google adalah perasaan ingin melakukan sesuatu tapi tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Rasa gabut itu mungkin disebabkan tidak sadarnya kita akan hal-hal apa saja yang telah kita lakukan hari itu atau hari-hari kemarin. Perasaan yang menunjukkan seolah-olah terbiasa tidak melakukan sesuatu sehingga saat otak sedang tidak bisa bekerja dengan baik maka yang muncul adalah perasaan gabut itu. Padahal kalau kita menyadari bahwa kita melakukan sesuatu maka kita akan lebih bersemangat dalam melakukan hal lainnya, menyelesaikan aktivitas satu lalu beralih ke aktivitas lainnya. Dan sehari itu akan berjalan dengan sangat cepat dan lebih bermanfaat.
Kembali ke obrolan saya dan anak saya tadi, ketika saya menyanggah jawabannya bukan hanya bermaksud menyadarkan dia akan aktivitasnya, tetapi juga memberitahunya bahwa kita tidak boleh tidak ngapa-ngapain. Kita harus melakukan sesuatu, karena kalau kita diam saja itu berarti kita menjadi pengangguran yang sebenarnya. Dan keberadaan kita menjadi tidak ada artinya, ada atau ketiadaan kita tidak ada bedanya. Ada orang yang menyebut dirinya pengangguran karena tidak bekerja yang menghasilkan uang, dan itu ada benarnya. Tetapi pengangguran yang sesungguhnya adalah orang yang berdiam diri saja tanpa melakukan apa-apa. Setidaknya kalau belum bisa menghasilkan uang atau pendapatan dari kerjanya, ya minimal dia tetap bisa berkarya meski itu sederhana. Pekerjaan itu ada banyak macamnya dan semua bisa dikerjakan kalau kita tidak terlalu pemilih. Sekedar menyapu halaman, membersihkan debu di meja atau mengelap kaca itu sudah jauh lebih baik dari pada hanya berdiam diri dan menyalahkan nasib. Dan tentu saja masih banyak lagi bentuk kerja yang lainnya. Jika semua orang berpikir bekerja bisa berwujud apa saja asalkan itu menghasilkan sesuatu atau menghasilkan karya sekecil apapun itu, maka tidak akan ada lagi orang gabut yang seringnya berujung ngajak ribut.
Lalu berlanjut ke pertanyaan yang diajukan ke saya: "Umi sedang apa?" Saya jawab dengan mantap, "Umi sedang mengerjakan PR." Anak saya tahu betul kalau saya sedang mengerjakan PR itu artinya saya sedang menulis. Ibunya tahu usianya sudah tidak muda lagi dan mungkin bukan masanya dia memiliki cita-cita seperti anak muda. Tapi ibunya bukan ibu yang hanya ingin meninggalkan generasi pada umumnya. Dia ingin mengabarkan pada anaknya bahwa cita-citanya mungkin terlambat disadarinya, tetapi itu bukan alasan untuk tidak dilanjutkan. Dia bercerita bahwa dulu sempat merasa tugasnya di dunia telah selesai karena telah memiliki keluarga dan menjalankan perannya sebagai istri dan ibu. Lalu pemikiran itu disadarkan entah oleh apa, hingga sekarang muncul kesadaran dia harus tetap berkarya. Dia berniat meninggalkan warisan semangat kepada anak keturunannya. Dia ingin memberitahu mereka agar berapapun usia mereka tidak boleh menghentikan peran menjadi manusia yang sesungguhnya. Dan menurutnya, manusia yang sesungguhnya menjadi manusia itu adalah dengan menjadi berguna untuk sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar