Tanggal 1 Juli 2015 ini, bagi wajib pajak pasti mengetahui bahwa penerbitan faktur dilakukan secara elektronik atau lebih dikenal sebagai e-Faktur. Saya merupakan salah satu dari sebagian banyak wajib pajak satu yang ikut dibuat "repot" dengan perubahan ini. Yah, siapa sih yang tidak shock dengan adanya suatu perubahan?
Perubahan dari pembuatan/penerbitan faktur secara manual dan kini berganti menjadi elektronik dan menggunakan fasilitas jaringan internet memaksa kita sedikit melek teknologi. Karena harus berakrab-akrab dengan komputer dan internet itu tadi.
Proses awal kita dapat menerbitkan e-Faktur adalah dengan meminta tanda tangan elektronik (sertifikat elektronik). Dan sempat membuat heboh, karena konon katanya sertifikat elektronik ini harus diurus paling lambat tanggal 30Juni 2015. Waduh, tinggal sehari lagi nih. Begitu pikir saya waktu itu. Lalu, apa jadinya jika saya terlambat mengurus sampai setelah tanggal yang ditetapkan tersebut.
Saya iseng bertanya pada petugas pajak. Dan jawabannya membuat saya lega. Jadi begini, pengurusan sertifikat elektronik itu memang harus dilakukan sampai dengan paling lambat tanggal 30 Juni 2015. Tetapi, bukan karena setelah tanggal tersebut tidak dapat diurus dan diproses. Tanggal itu seolah-olah menjadi penentu, karena mulai tanggal 1 Juli 2015 setiap PKP yang tentunya menerbitkan faktur dalam transaksinya harus menggunakan e-faktur.
Setelah tanggal 30 Juni, bagi PKP yang belum mendapatkan sertifikat elektronik masih dapat mengurusnya. Jangan kuatir. Hanya saja, masalah yang akan timbul adalah jika setelah tanggal 1 Juli 2015, PKP belum memiliki sertifikat elektronik maka tentu saja PKP tersebut tidak dapat menerbitkan faktur, karena sertifikat elektronik itu diperlukan untuk membuat e-faktur. Dan yang harus diingat adalah mulai tanggal 1 Juli 2015, PKP harus menerbitkan faktur secara elektronik. Iya, harus! :)
Tampilkan postingan dengan label Seputar Pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seputar Pajak. Tampilkan semua postingan
Selasa, 30 Juni 2015
Jumat, 01 Mei 2015
PENGENAAN PAJAK ATAS PENGELOLAAN DANA DARI APBN DAN ATAU APBD
Tulisan ini saya buat untuk catatan saya pribadi sih sebenarnya. Sukur-sukur kalau bermanfaat juga untuk teman blogger yang lain. Karena saya sering bingung saat mengurus pajak dan tiba-tiba membutuhkan catatan mengenai pajak.
PENGENAAN PAJAK ATAS PENGELOLAAN DANA DARI APBN DAN ATAU APBD
1. BELANJA PEGAWAI
A. Penghasilan rutin (Gaji)
- Penghasilan Netto disetahunkan-PTKP dikalikan tarif PPh Pasal 17 KUP
- Batas PTKP minimum untuk diri WP Rp. 1.320.000,- per bulan atau Rp. 15.840.000,- per tahun
- Kode MAP/KJS 411121/100 SSP atas nama Bendahara
- Disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
- Dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
B. Penghasilan Non Rutin (Honor)
1. PNS
- Golongan III a ke atas dipotong PPh pasal 21 final 15 % (golongan II d ke bawah dikecualikan dari pemotongan)
- Kode MAP/KJS 411121/402 SSP atas nama Bendahara
- Disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
- Dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
2. Non PNS
2. BELANJA BARANG
- Dipotong PPh pasal 21 sebesar tarif Pasal 17 KUP (5 % bagi yang ber-NPWP dan 6 % bagi yang non-NPWP)
- Kode MAP/KJS 411121/100 SSP atas nama Bendahara
- Disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
- Dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
A. PPh Pasal 22
- batasan belanja lebih dari Rp 2.000.000,- (PMK No-154/2010) khusus untuk bendahara BOS dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22
- tarif 1.5 % x harga (tidak termasuk PPN) jika non NPWP 3 %
- kode MAP/KJS 411122/900 SSP atas nama Rekanan
- Disetor paling lambat pada hari yang sama saat pembayaran
- Dilaporkan paling lambat tanggal 14 bulan berikutnya
B. PPN
- batasan belanja lebih dari Rp. 1.000.000,-
- tarif 10% x harga (tidak termasuk PPN)
- Kode MAP/JKS 411211/900 SSP atas nama Rekanan
- Disetor paling lambat tanggal 7 bulan berikutnya
- Dilaporkan paling lambat tanggal 14 bulan berikutnya
3. BELANJA JASA
A. Balanja Jasa selain Konstruksi
1. PPh Pasal 23
- Tarif 2% x harga (tidak termasuk PPN) jika non-NPWP 4%
- Kode MAP/JKS 411124/104 SSP atas nama Bendahara
- Disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
- Dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
2. PPN
- Jika di atas Rp. 1.000.000,- dipungut PPN 10% x harga (tidak termasuk PPN)
- Kode MAP/KJS 411211/900 SSP atas namanya Rekanan
- Disetor paling lambat tanggal 7 bulan berikutnya
- Dilaporkan paling lambat tanggal 14 bulan berikutnya
B. Belanja Jasa Konstruksi
1. PPh Pasal 4 ayat 2
- Pelaksana konstruksi:
2 % x harga (tidak termasuk PPN) jika klasifikasi kecil
3 % x harga (tidak termasuk PPN) jika klasifikasi menengah ke atas
4 % x harga (tidak termasuk PPN) jika tidak memiliki klasifikasi
- Perencanaan dan Pengawasan
4 % x harga (tidak termasuk PPN) jika memiliki klasifikasi
6 % x harga (tidak termasuk PPN) jika tidak memiliki klasifikasi
- Kode MAP/KJS 411128/409 SSP atas nama Bendahara
- Disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
- Dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
2. PPN
- Jika di atas Rp. 1.000.000,- dipungut PPN 10% x harga (tidak termasuk PPN)
- Kode MAP/KJS 411211/900 SSP atas nama Rekanan
- Disetor paling lambat tanggal 7 bulan berikutnya
- Dilaporkan paling lambat tanggal 14 bulan berikutnya
Rabu, 12 November 2014
Transparansi dalam Pajak
Mendengar kata pajak pasti membuat sebagian besar
orang akan menyingkir. Atau malah berusaha berpikir untuk dapat membayar pajak
sekecil mungkin. Jadi slogan “Hari ini tidak bayar pajak? Apa kata dunia?” Itu
bukan menjadi ancaman yang memalukan bagi para wajib pajak.
Tapi jangan langsung menyalahkan para wajib pajak.
Karena kepercayaan rakyat khususnya para wajib pajak memang harus dimunculkan
kembali setelah berbagai kasus yang menjerat para aparat di dirjen pajak.
Tetapi bukan hanya itu masalahnya. Bagi para wajib
pajak, hak-hak yang melekat seiring dengan kewajiban membayar pajak sepertinya
bukanlah hak yang sebenarnya harus diperoleh oleh wajib pajak. Mengapa
demikian?
Hal itu karena dari sekian hak-hak wajib pajak
semuanya berujung pada kewajiban yang hanya diperlonggar saja. Wajib pajak
masih diperlakukan sebagai objek dan bukan subjek. Misalnya seperti yang
tercantum pada buku panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, misalnya hak dalam
hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan.
Meskipun tujuannya adalah memberikan hak tetapi inti
dari pemberian hak itu bukankah melakukan pengecekan terhadap kepatuhan
pembayaran pajak sang wajib pajak? Lalu bagaimana dengan slogan lainnya yang
berbunyi “Patuhi pajaknya dan awasi penggunaanya?
Bagaimana cara wajib pajak ini mengawasi penggunaan
pajak yang telah mereka setorkan? Bagaimana para wajib pajak mengetahui
uang-uang itu memang digunakan sebagaimana seharusnya? Seperti diakui Negara
Indonesia ini sangat luas. Jadi bagaimana mereka bisa mengetahui seberapa besar
penyerapan uang pajak mereka kepada Negara? Ekstrimnya lagi apakah uang yang
telah disetorkan benar-benar digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan
rakyat?
Berbagai dokumentasi mungkin dimuat di media cetak
maupun elektronik. Tapi sejelas apakah berbagai bukti itu mampu meyakinkan dan jlentrehke banyaknya uang yang telah wajib
pajak setorkan?
Kurangnya kejelasan transaksi apa saja yang dikenakan
pajak juga terasa menjebak para wajib pajak. Banyak menerima surat peringatan
dan himbauan untuk pembayaran pajak yang bahkan para wajib pajak tidak tahu
bahwa apa yang mereka lakukan itu ada pajaknya. Sampai-sampai terlintas di
pikiran “jangan-jangan duduk di taman kota juga harus bayar pajak?” hehehe.
Para pemangku kepentingan di dirjen pajak seharusnya
memang harus segera mengerahkan pegawainya, agar lebih memberikan pencerahan
mengenai seluk beluk pajak. Agar tidak ada lagi perasaan terjebak dari wajib
pajak. Brosur-brosur dan selebaran yang menerangkan hal itu sangat bisa
membantu para wajib pajak.
Dan ada satu lagi yang mungkin dapat meningkatkan
kepercayaan wajib pajak, mengapa sejak dulu hingga kini tidak pernah ada
semacam klarifikasi dan pertanggungjawaban dari Negara dalam hal ini dirjen
pajak sebagai instansi yang mengurusi perpajakan? Laporan pertanggungjawaban
itu selalu ada meski untuk penggunaan dana yang kecil, misalnya laporan tahunan
penggunaan dana di sekolah, dan mungkin bahkan di lingkungan RT. Tetapi mengapa
laporan pertanggungjawaban itu tidak wajib pajak terima dari Negara dalam hal
ini dirjen pajak?
Para wajib pajak berhak mengetahui berapa besar
pemasukan dari pajak dan digunakan untuk apa saja uang hasil pajak tersebut. Di
era yang sudah sangat memudahkan pertukaran informasi, bukankah mudah dan murah
mengirimkan laporan pertanggunjawaban tersebut kepada wajib pajak?
Pengiriman itu bisa melalui pos, maupun digelar di
media cetak bahkan bisa juga lewat jaringan internet melalui email ke
masing-masing wajib pajak.
Kejelasan penggunaan dana
itu penting bagi wajib pajak, agar mereka yakin bahwa mereka tidak sedang
memberi makan Gayus-Gayus yang lain. Dan agar para wajib pajak yang ingin taat
pajak itu dapat ikut mengawasi penggunaan pajak dengan maksimal. Jangan sampai
tidak ada yang mengetahui bahwa penggunaan pajak mungkin hanya digebyah uyah untuk hal yang tidak
terlalu signifikan dan tidak mendesak.
Langganan:
Postingan (Atom)