“Do what you can, with what you have, where you are.”—Theodore Roosevelt
Saya teringat apa yang telah disampaikan oleh Gus Baha. Pada suatu kali beliau pernah ditanya oleh salah
seorang jamaah pengajiannya. Orang itu bertanya tentang peran sekolah atau
Lembaga Pendidikan tertentu yang seolah-olah menjadi jaminan jika seseorang
bersekolah di sekolah itu maka akan menjadi sukses. Sebagai ulama ahli ilmu
hakikat tentu Gus Baha menjawab pertanyaan tadi lewat ilmu hakikat. Menurut
beliau hal tersebut tidak bisa dijadikan jaminan. Di mana pun tempat seseorang
itu belajar atau sekolah tidak lantas serta merta menjadikan orang itu pintar
lalu berakhir pada keberhasilan hidup. Pada kenyataannya yang biasanya
ditampilkan dan terkenal itu yang memang yang sukses, sedangkan yang
prestasinya biasa-biasa saja atau bahkan cenderung kurang atau tidak pintar
maka tentu tidak akan dikenal masyarakat luas. Lalu bagaimana menyikapi hal
tersebut, ketika seseorang sudah bersekolah di sekolah yang sangat terkenal
tetapi berujung tidak menjadi apa-apa dan tidak menjadi siapa-siapa. Justru
menurut Gus Baha, bodoh itu barokah. Tidak selamanya yang pintar itu barokah.
Gus Baha mencontohkan seorang santri yang pintar biasanya akan menjadi kiai dan
biasa mengisi pengajian-pengajian lalu dapat “salam templek”. Seorang
mahasiswa yang pintar tentu besar kemungkinan menjadi dosen dan akan mengajar
di perguruan tinggi lalu digaji. Seorang dokter yang nilainya bagus akan
ditempat di kota besar dan mendapatkan berbagai fasilitas dan kemewahan
selaknyakan di kota-kota besar.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang ditakdir tidak
pintar/bodoh? Ditakdir menjadi apa pun tidak menjadi persoalan. Sebagai contoh
jika santri pintar bisa menjadi kiai terkenal, maka santri bodoh biasanya
karena desakan ekonomi dia akan merantau ke suatu daerah. Dan di daerah
tersebut jika tidak ada aktivitas ibadah dan tempat ibadah pastilah akan
membuat santri tersebut gelisah dan akhirnya dengan berbagai cara semampunya
mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan mendirikan kelompok pengajian.
Begitu juga siswa yang tidak pintar di sekolah akhirnya harus tetap mejalani
hidupnya di suatu tempat yang bahkan mungkin dianggap orang sebagai orang yang
tidak sukses. Tetapi jika dasar orang tersebut adalah orang sholeh maka
aktivitas apa pun yang dia lakukan akan menjadi aktivitas yang berkaitan dengan
ibadah kepada Allah SWT. Kemudian Gus Baha menambahkan lagi, dulu Rosululloh
sangat memuji Uwais al Qorni, padahal Uwais al Qorni bukanlah sosok yang
terkenal di masyarakatnya bahkan pernah dianggap gila oleh lingkungan
sekitarnya. Uwais Al Qorni tidak terkenal di dunia tetapi Namanya terkenal di
langit hingga Rosululloh mengirimkan salam untuk Uwais al Qorni. Dan yang
dilakukan oleh Uwais al Qorni bukanlah hal-hal yang dianggap hebat oleh manusia
pada umumnya. Uwais al Qorni hanyalah melakukan perannya sebagai seorang anak
dengan sebaik-baiknya. Cita-citanya untuk bertemu Rosululloh saja tidak bisa
dicapainya karena kepatuhan dan baktinya pada ibunya yang sudah tua dan
sakit-sakitan.
Berbagai kisah yang disampaikan oleh Gus Baha tadi seolah mengingatkan kita bahwa menjadi bermanfaat tidak harus menunggu kita menjadi hebat. Justru kemanfaatan yang dilakukan dengan segala keterbatasan yang ada dan disikapi dengan Ikhlas justru malah sangat luar biasa. Mungkin kalimat motivasi di awal tadi bertujuan untuk siapa pun harus tetap berusaha dengan apa pun yang dimilikinya dan sedang di mana pun dia berada. Mendayagunakan apa pun yang ada dan berproses tanpa protes.
“Lebih baik menyalakan lilin dalam kegelapan dari pada
mengutuk kegelapan itu.”
Pernah dengar juga kan kalimat motivasi itu. Sepertinya hampir sama maknanya dengan yang di awal tadi yang berarti dari pada menyalahkan segala macam ketidaknyaman, ketidaksesuaian keadaan dengan harapan, lebih baik mengusahakan yang terbaik yang bisa dilakukan. Bukankah mengeluh tidak pernah menyelesaikan masalah ? Justru keluhan akan menambah beban menjadi terasa lebih berat. Saya melihat contoh-contoh seperti itu sepertinya ada di emak-emak yang selain melakukan tugasnya mengurus rumah tangga tetapi tetap bisa berkarya tanpa meninggalkan tanggung jawabnya. Sekarang sudah banyak emak-emak yang kegiatan sehari-harinya membuat konten bagi di blog, maupun youtube dan sosial media lainnya. Itu seperti contoh nyata, bahwa mereka seolah tidak mau diam saja meratapi keadaan yang membelenggu dirinya. Dan dari pada nggremeng dan tidak jelas arahnya justru mereka mengambil langkah luar biasa dengan menjadikan kegiatan sehari-hari yang dulu dianggap tidak bernilai sekarang malah bisa dijadikan sumber penghasilan. Ya Allah saya iri sekaligus salut dengan kecerdasan dan kegigihan emak-emak itu. Siapa sangka kegiatan cuci mencuci, memasak dan beres-beres rumah ternyata jika dijadikan konten sangat banyak peminatnya, dan saya salah satunya. Jika dulu ibu rumah tangga dengan segala aktivitasnya itu dianggap Batasan yang menyebabkan seorang istri/ibu tidak bisa berkarya, sekarang tidak begitu adanya. Mengapa mereka bisa sangat berhasil? Karena mereka sudah dalam tahap melakukan dan mempraktikkan apa yang dikatakan oleh Theodore Roosevelt pada kalimat motivasi tadi.
Lalu saya ingin kembali mengingat nasihat Gus Baha, yang kurang lebih artinya adalah tidak ada orang yang tidak memiliki kesempatan untuk bermanfaat buat sesama. Di mana pun dan dalam posisi apa pun dirinya maka tetap ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk bermanfaat. Sekecil apa pun peran kita, kita tetap menjadi pemeran utama dalam kisah kita. Jadi tetap menjadi yang terbaik, berbuat yang terbaik dan memerankan peran sebaik dan setulus mungkin. Biasanya ‘Sutradara’ menyukai pemeran yang sangat apik dan tulus memainkan perannya. Jadi sebagai apa pun kita harus tetap memberikan yang terbaik dalam melakoninya. Ada yang menjadi ibu rumah tangga yang mungkin belum memiliki penghasilan sendiri tetapi setulus hati dan semaksimal mungkin mendidik anak-anaknya dan mengurus keluarganya dengan baik insyaAllah bisa menjadi sumber keberkahan untuk keluarga dan anak-anaknya. Mungkin ada yang sedang menjadi anak yang tidak dianggap sukses dalam karier, tetapi dia ditakdirkan yang mengurus dan merawat orang tuanya, lalu melakukannya dnegan sebaik-baiknya juga insyaAllah namanya bisa seharum Uwais al Qorni dan masih banyak contoh yang lainnya. Jadi kesimpulannya adalah tidak boleh ada kata ‘tapi’ dalam berbuat kebaikan. Tidak boleh banyak alasan dalam mengusahakan kesempatan. Semoga dimudahkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar