Hidup itu pilihan?
Hari ini, pertanyaan yang sering terlintas itu kembali hadir. Cerita itu
hadir ketika saya sedang menjemput anak-anak dari sekolah, karena saya terlalu
awal menjemput mereka, akhirnya saya mencoba berbasa-basi dengan sesame ibu
yang juga menjemput anaknya. Tak lama cerita pun bergulir. Sang ibu yang saya
ajak cerita tersebut sedang menjemput cucunya. Mungkin karena memang sedang
butuh teman untuk cerita atau memang kebiasaan ibu tersebut yang senang
bercerita. Tapi inti pembicaraan kami adalah pilihan yang harus dilakukan
seorang ibu untuk memilih belajar di luar negeri dan harus meninggalkan anak
dan suaminya.
Sebenarnya tidak masalah jika keadaan yang ditinggalkan
terkendali, sayangnya anak yang ditinggalkan di rumah bersama ayahnya bersikap
sering tak terkendali, sering marah, mengamuk, menganggap ibunya berbohong dan
sering meluapkan rasa kecewa dan perasaan sepinya dengan meminta berbagi mainan
yang kadang sampai bingung mainan apa lagi yang harus dibeli (karena sudah
begitu banyak dan beragamnya mainan di rumah). Bisa ditebak sang ayah dan nenek
tidak punya pilihan lain selain memenuhi dan melakukan segala sesuatu yang
dapat menyenangkn hati cucunya. Ketakutan saya adalah, bagaimana perkembangan
anaka itu kelak? Apakah akan baik-baik saja jika kebiasaan itu diteruskan? Saya
membayangkan bagaimana keadaan ibu yang harus belajar di luar negeri dan meninggalkan
anaknya? Bagaimana susahnya perasaan ibu tersebut? Ternyata kesulitan yang
kadang saya anggap sebagai penghambat pencapaian mimpi saya, bemacam kerepotan
yang harus saya bagi dengan ambisi dan mimpi saya, itu bukan apa-apa. Keputusasaan
yang sering datang ketika keadaan seperti tidak mendukung mimpi say, harusnya
tidak boleh ada. Saya masih dapat berkumpul dengan keluarga dan anak-anak. Saya
masih bisa melihat dan memeluk mereka. Mendengar mereka mendoakan untuk
kebaikan dan keberhasilan saya.
Sungguh pilihan
yang tidak mudah. Sedih, pilu dan prihatin saya tak tahu harus menanggapi
bagaimana. Meninggalkan anak yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang
tua untuk menuntut ilmu. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, tuntutlah ilmu
sampai liang lahat. Kata-kata mutiara tersebut menjadi semacam penyemangat bagi
saya dalam belajar. Tetapi jika dihadapkan pilihan yang sama seperti saya
ceritakan tadi, apakah saya masih bisa dan sanggup menjalaninya. Tidak ada yang
bisa saya sisipkan dalam dinding hati saya selain sebait doa, semoga apapun
yang dilakukan ibu itu merupakan pilihan terbaik dan dapat membawa kebaikan
untuk semua. Amien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar