Menurut artikel yang saya baca, self-love bisa diartikan sebagai mencintai diri sendiri. Baik saya akan mencoba melihat diri sendiri dulu. Seberapa saya mencintai diri sendiri. Saya adalah orang yang gak enakan dan sering mengalah. Ini bukan statement dari saya ya, tetapi memang beberapa orang sering menyebut saya demikian dan saya juga menyadari hal itu. Bahkan kebiasaan mengalah saya ini sering membuat orang-orang terdekat saya sering merasa geram. Mereka juga terang-terangan mengatakan bahwa mereka tidak suka melihat saya terus-menerus mengalah, kalau tidak suka ngomong saja, begitu kata mereka. Apa yang mereka lihat memang tidak salah. Saya lebih memilih diam jika ada suatu masalah dan ini terkesan saya mengalah dan tidak melawan saat ada orang yang sedang mencurangi saya, ibaratnya begitu. Tapi saya justru berpikiran sebaliknya, saya seringkali diam saat ada orang yang mungkin sedang tidak baik kepada saya bukan karena saya mengalah, hanya saja saya menganggap menanggapi keburukan dengan keburukan itu melelahkan. Saya merasa tidak mempunyai cukup waktu dan tenaga untuk mengurusi hal-hal yang seperti itu. Jika self-love artinya mencintai diri sendiri, maka saya juga sedang mencintai diri saya dengan tidak mempedulikan sesuatu yang tidak menjadi prioritas saya. “Impian dan tanggung jawab saya terlalu banyak hingga tak ada waktu mengurusi yang begitu-begitu.” Kalimat yang hampir sama yang saya sampaikan saat ada kerabat atau teman dekat yang memprotes sikap diam saya. Meski begitu tak jarang komentar dan masukan dari teman dan kerabat itu cukup mempengaruhi pikiran saya hingga kadang menyebabkan saya berpikir apakah memang saya ini kurang mencintai diri sendiri? Nasihat dan masukan dari orang-orang terdekat tetap saya jadikan pertimbangan dan saya mulai perubahan pada diri saya. Beberapa perubahan itu diantaranya yaitu:
- Berani berkata tidak
Seiring tumbuhnya kedewasaan diri saya merasa dan menyadari tidak semua orang di dunia ini yang membutuhkan pertolongan kita adalah orang yang benar-benar butuh, banyak juga yang bermain sebagai korban (playing victim) yang mendorong kita untuk membantunya. Padahal setelah ditelisik lebih dalam adalah sebenarnya bantuan kita tidak terlalu diperlukan, tetapi lebih karena mereka memang tidak mau membantu diri mereka sendiri dan lebih mengandalkan orang lain. Nah, jika berada di kondisi seperti ini saya akan memilih untuk berkata “tidak”. Pada awalnya tentu ada rasa tidak enak, karena memang saya tipe orang yang gak enakan, tetapi setelah terbiasa dan mencoba memastikan diri bahwa dengan berkata tidak pada kasus-kasus tertentu bukan berarti saya berbuat jahat maka kebiasaan itu bisa lebih ringan diterapkan.
- Mulai mengabdi pada diri sendiri
Ini sebenarnya saya lakukan bahkan di lingkungan keluarga kecil saya. Saya adalah seorang istri dan seorang ibu. Sebagai seorang penyayang keluarga cieeee…hehehe, saya sering mengalah dan menahan keinginan sendiri semata-mata karena saya lebih mementingkan kepentingan suami dan anak-anak saya. Memang tidak ada yang salah dengan sikap ini. Yang menjadi masalah adalah Ketika kita melakukan itu tetapi terus menerus menahan segala keinginan, karena itu artinya kita malah menyakiti diri sendiri. Padahal menjadi seorang istri dan ibu sangat diperlukan perasaan bahagia. Setelah menyadari bahwa kebiasaan saya sudah tidak menyehatkan jiwa dan raga saya maka pelan-pelan saya mulai memberikan apa-apa yang disukai oleh diri saya, selama apa yang saya lakukan itu tidak merugikan saya dan keluarga maka saya berusaha memenuhinya.
- Menyalurkan hobi
Sudah lama saya tidak menulis, membaca atau melakukan hal-hal yang saya sukai. Salah satu alasannya adalah karena permintaan dari suami untuk mencurahkan seluruh waktu dan tenaga untuk membantu proyek yang sedang dikerjakannya. Pada tahun-tahun awal saya berusaha mematuhinya. Tetapi ternyata saya malah kehilangan keseimbangan hidup, banyak hal-hal buruk yang terjadi dalam tubuh saya. Singkat kata saya kelebihan beban pikiran teman-teman. Tidak ada yang akan menyukai kondisi tersebut, setiap hari tubuh dipaksa untuk melakukan semua yang tidak saya sukai, semua hanya tentang menjalankan tanggung jawab. Akhirnya saya memberanikan diri mulai melakukan hal-hal yang saya sukai seperti menulis dan membaca hal-hal yang menarik buat saya. Pada awal-awal tentu saja suami saya protes dan tetap meminta saya untuk tetap mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan proyeknya. Tetapi saya sampaikan padanya bahwa saya juga membutuhkan keseimbangan hidup, sama seperti dirinya yang seharusnya juga mulai menyeimbangkan ritme hidupnya. Mulai saat itu saya menjalani hari saya dengan lebih bersemangat tanpa meninggalkan tanggung jawab saya terhadap tugas-tugas saya.
- Istirahat cukup
Beberapa tahun kemarin saya seolah diburu oleh pekerjaan. Salah pengaturan waktu dan orang menjadi penyebabnya. Jika waktu penyerahan tugas sudah mepet maka saya harus lembur berhari-hari. Dan kebiasaan itu sangat tidak sehat secara fisik maupun mental. Oleh karena itu saya tidak lagi membiarkan diri saya pontang-panting oleh pekerjaan. Semua harus sudah dijadwalkan dengan baik. Pekerjaan-pekerjaan mulai saya rinci menjadi tugas-tugas kecil dan saya selesaikan satu per satu tanpa menunggu batas akhir waktu. Setiap hari saya bekerja dengan mematuhi tugas-tugas yang telah saya susun sebelumnya. Dan alhamdulillah semua berjalan dengan lebih normal dan saya memiliki waktu istirahat cukup untuk bisa menjaga kesegaran, semangat dan yang terpenting kesehatan saya.
- Berani berbeda
Saya adalah orang yang tidak terlalu nyaman berada dalam sorotan, dan menjadi berbeda tentu akan sangat mencolok bukan? Tetapi ironisnya ternyata sejak dari dulu saya telah biasa berbeda dari kebanyakan orang di lingkungan saya. Hal tersebut saya lakukan bukan semata-mata karena pingin tampil beda ya, tetapi memang saya harus melakukannya. Tetapi saya merasa akhir-akhir ini keberanian saya mulai luntur, selalu ada rasa gak enak hati saat harus berbeda dari lingkungan sekitar. Saya tidak menyukai suatu hal tetapi karena begitulah yang terjadi di lingkungan saya maka saya memaksakan diri untuk menjadi seperti yang biasa dilakukan di lingkungan saya itu. Tapi lama-lama saya capek sendiri, saya seolah harus mengenakan topeng karena saya tidak menjadi diri sendiri. Maka sejak beberapa waktu lalu saya mulai meyakinkan diri bahwa menjadi berbeda itu tidak masalah. Berbeda tidak selalu menunjukkan perlawanan, kita hanya sedang menyuarakan sesuatu yang menurut kita baik. Berbeda bukan berarti kita merasa lebih baik dari orang di sekitar tetapi memang suatu keharusan yang menyebabkan kita harus berbeda. Dengan meyakinkan diri seperti itu saya sekarang lebih nyaman dengan menjadi diri sendiri dan menyuarakan apa yang saya anggap baik dan benar. Seperti kegiatan menulis saya ini, di lingkungan terdekat saya masih sangat jarang orang melakukannya. Ibu rumah tangga seperti saya biasanya mengisi waktu dengan mengerjakan urusan rumah saja tidak ada kegiatan tambahan lainnya. Kebanyakan penggunaan gadget sebatas untuk mencari informasi dan hiburan. Tetapi saya merasa bahwa kebiasaan itu tidak cukup untuk menambah kapabilitas diri maka saya beranikan diri menulis dan membaca. Sekali lagi tak ada yang salah dengan menjadi orang yang berbeda selama perbedaan itu untuk kebaikan.
- Meninggalkan lingkungan yang tidak membuat nyaman
Menjadi istri dan ibu membuat saya harus beradaptasi dengan banyak lingkungan baru. Dan ternyata tidak semua lingkungan baru itu cukup nyaman. Permasalahannya tidak selalu pada tempatnya tetapi pada unsur yang ada di lingkungan tersebut. Jika sebelumnya saya mencoba menerima dengan segala ketidaknyamanan itu maka sekarang saya sudah bisa memposisikan diri agar bisa menjadi ''orang asing" jika berada di lingkungan yang memang tidak tepat untuk saya. Perasaan bahwa tidak selamanya kita harus diterima di semua lingkungan membuat saya lebih tenang dan nyaman berada di lingkungan mana pun. Dan jika memang harus berada di lingkungan yang kita tidak nyaman di situ maka saya cukup membatasi diri, menjadi diri sendiri dan tidak terlalu berusaha agar “diterima”. Dan ternyata semua menjadi baik-baik saja.
- Tidak terlalu peduli dengan pandangan orang lain
Perasaan ini dulu
sangat menyiksa saya. Saya selalu khawatir jika tingkah laku saya atau omongan
saya melukai atau menyinggung orang lain atau lawan bicara saya. Tapi semua
berubah setelah ada kesalahpahaman antara saya dan lawan bicara terkait pembicaraan
kami. Setelah saya tahu penyebabnya saya menyadari sesuatu bahwa saya tidak
perlu terlalu mengkhawatirkan pandangan orang lain tentang apa yang saya
ucapkan atau yang saya lakukan. Karena ternyata ketersinggungan orang
lain itu lebih sering tidak bisa ditebak dari arah mana. Saat terlibat obrolan
itu saya hanya bicara yang ringan-ringan, tidak ada pembicaraan yang serius,
tapi ternyata ada salah satu omongan saya yang menyinggung lawan bicara saya
tersebut. Menyadari hal tersebut bukan membuat saya menjadi merasa bersalah
tetapi justru membuat saya lebih santai dalam berinteraksi dengan orang lain. Tidak
ada lagi beban harus selalu menjaga perasaan orang lain. Selama ini saya
terlalu sibuk menjaga perasaan orang lain hingga hampir lupa menjaga perasaan
saya sendiri. Jadi selama saya tidak punya niatan buruk di dalamnya maka seharusnya
saya bisa tenang menjalani hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar