Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya, Menulis dan Mengawal Peradaban (1). Tujuan tulisan ini masih sama yaitu untuk mengingatkan diri sendiri agar tidak lelah menulis.
- Buku adalah sebaik-baik teman saat sedang sendirian
Pernah mendengar kan kalau buku adalah teman terbaik saat kita sendirian? Ataukah keberadaannya sudah digeser oleh gawai yang semakin mudah diperoleh? Mungkin kita samakan persepsi dulu, bahwa buku yang dimaksud tidak saja berupa buku fisik tetapi termasuk buku digital yang sekarang mulai dilirik oleh beberapa kalangan. Mereka tetap membaca buku hanya saja medianya tidak lagi lembaran kertas tetapi berpindah ke bentuk digital di gadget masing-masing. Apapun media yang digunakan tetaplah membaca karena bisa menjadi teman yang paling tepat saat sendirian. Dulu sewaktu masih kulaih, saya pernah mendengar nasihat dari dosen saya yang kurang lebih isinya adalah menyarankan kami untuk memiliki koleksi buku di rumah. Meskipun pada saat itu belum dibaca maka akan tiba masanya buku itu dibutuhkan dan dicari. Karena kita telah memiliki buku yang sedang kita butuhkan maka akan lebih mudah dan bisa segera membacanya. Lalu saya juga pernah mendengar sebuah inspirasi dari seorang influencer Bernama Dzawin Nur untuk selalu membawa buku dan meletakkan satu buku di tas. Hal itu agar kita bisa membacanya kapan pun kita ada waktu luang dan saat berada di mana saja. Tidak akan ada alasan tidak mempunyai waktu membaca karena sesibuk apapun aktivitas yang ada pasti terselip waktu luang yang jika tidak dimanfaatkan dengan baik maka rugilah kita. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan membaca. Membaca buku, majalah, artikel atau apa saja akan sangat bermanfaat, terlebih jika membaca yang isinya bisa membantu pengembangan diri. Mengapa buku adalah teman terbaik saat kia sendirian? Karena saat kita tidak sendirian tentunya agak kurang sopan jika kita asyik sendiri sedangkan dalam waktu yang sama kita mengabaikan orang-orang di sekitar kita.
- Dengan mewariskan bacaan maka otomatis mewariskan gairah menulis
Pernahkah terpikirkan bagaimana jika pada suatu saat nanti tidak ada lagi buku bacaan yang tersisa di dunia ini? Membayangkan semua orang tidak ada lagi yang memiliki ketertarikan terhadap literasi dan semua lebih senang memandangi potongan video yang ada di layar gawai ternyata cukup menakutkan bagi saya. Bagaimana dunia penulisan ini akan tetap ada jika tidak ada yang melanjutkannya? Dan alasan utamanya karena memang sudah tidak ada lagi buku karena tidak ada lagi penulisnya. Seperti lingkaran setan yang mengerikan. Saya teringat pertama kali keinginan menulis itu muncul setelah saya menjadi pembaca. Jadi kalau tidak ada yang dibaca maka kemungkinan besar tidak ada yang tahu nikmatnya membaca dan serunya perasaan ingin menjadi bagian yang karyanya dibaca. Untuk itulah menulis harus selalu dilakukan agar tetap ada bacaan sehingga siklus menulis dan membaca akan tetap ada. Kita sedang bersaing dengan berbagai video yang lebih banyak berisi hiburan dan bukan pengembangan kepribadian. Tentu kita yang generasi tahun 90-an ingat betul, saat kita kecil kita biasa disuguhi dengan berbagai macam lagu anak-anak. Hampir setiap hari muncul artis kanak-kanak baru dengan membawakan lagu-lagu baru yang seru. Tapi lihatlah sekarang, tidak ada lagi lagu anak-anak. Yang semakin eksis malah lagu ambyar dan lagu dewasa lainnya yang kita tahu pasti itu tidak bisa dikonsumsi oleh anak-anak. Untuk itulah bacaan yang menarik dan bermutu tinggi tetap menjadi prioritas. Atau kalau tidak maka tinggal menunggu nasib buku akan menjadi seperti lagu anak-anak itu.
- Baik buku fiksi maupun non fiksi bermanfaat untuk perkembangan diri
Buku yang bagus itu buku yang fiksi atau non fiksi ? Kalau ada yang bertanya seperti itu maka jawaban saya dulu dan sekarang akan berbeda. Dulu ada masanya saya menyukai buku fiksi. Lalu semakin bertambah dewasa saya menjadi lebih menyukai buku non fiksi. Lebih bermanfaat, begitu menurut saya. Tiba-tiba pikiran itu mulai berubah setelah beberapa hari lalu saya mendapat tantangan dari penulis novel terkenal JS. Khairen agar bisa membaca minimal 2 buku setiap bulannya. Satu buku fiksi dan satu buku non fiksi. Buku non fiksi untuk asupan kepala sedangkan buku fiksi untuk memberi makan hati. Saya baru sadar bahwa keduanya memiliki manfaat masing-masing. Kebiasaan baru yang selayaknya untuk ditiru. Sehingga sejak saat itu saya tidak lagi anti dengan buku fiksi meski masih sulit mencerna buku fiksi fantasi hehehe. Jadi menulislah, baik itu fiksi atau non fiksi jika konten yang ditulis adalah konten yang berisi kebaikan tentu akan tetap bernilai sama.
- Menulis adalah cara untuk mengikat ilmu
Imam Syafii pernah berkata ilmu itu seperti binatang buruan, jika tidak diikat maka akan terlepas maka menulis adalah ikatannya. Di jaman dengan informasi yang semakin mudah diperoleh ini tentu kita akan dengan mudah mendapatkan apa yang dicari. Meskipun begitu semua informasi itu akan tidak bermakna apa-apa jika dengan cepat kita melupakannya. Memori yang terbatas akan menjadi alasan mengapa kita mudah melupakan apa yang baru saja kita dapatkan termasuk informasi. Maka seperti yang telah disampaikan oleh Imam Syafii tadi jalan mengikatnya agar tidak hilang adalah dengan menuliskannya. Ilmu dan pengetahuan yang bisa kita baca dan pelajari sekarnag adalah karena peneliti atau ulama terdahulu menuliskannya. Maka sampailah ilmu-ilmu itu pada kita. Dan sekarang juga sama, berbagai ilmu, hikmah dan pengetahuan yang kita peroleh sekarang menjadi tugas kita untuk menuliskannya agar dapat dipelajari dan diambil manfaatnya oleh generasi setelah kita. Pandangan tentang hidup, berbagai kebijaksanaan yang ada dan kejadian yang sekarang disaksikan atau dialami sendiri akan bisa menjadi sumber ilmu untuk generasi mendatang. Meski sekarang ada sarana lain berupa video atau gambar berupa foto tetap tidak mengesampingkan peran tulisan dalam mendokumentasikannya. Seperti yang juga telah diuraikan di awal kemampuan membaca harus tetapada, agar kebiasaan berpikir tidak hilang dari setiap generasi. Karena seperti yang telah ditulis sebelumnya bahwa seseorang yang berhenti membaca adalah seseorang yang berhenti berpikir.
- Menulis dan tulisan adalah bentuk mengawal peradaban
Masih merupakan misi lanjutan dalam menulis yaitu mengawal
peradaban manusia. Telah diuraikan di bagian sebelumnya bahwa cara manusia
bertindak sangat dipengaruhi oleh asupan yang masuk ke jiwa, raga dan
pikirannya. Jika membaca adalah jalan satu-satunya manusia masih mau berpikir
maka menyediakan bahan bacaan adalah tugas yang tidak bisa dihindari. Semakin
banyak bahan bacaan maka akan semakin luas kesempatan berpikir itu disediakan.
Meski kemudian upaya tidak berhenti pada menyediakan bahan bacaan, tetapi harus
lebih memastikan bacaan yang ada itu haruslah bisa membawa dampak baik untuk
pembacanya. Karena konon katanya kemajuan suatu bangsa sangat erat kaitannya
dengan minat bacanya. Dan tentu akan sangat berdampak luar biasa adalah jika
isi tulisan adalah tulisan yang bermanfaat. Semakin ke sini minat baca bangsa
ini semakin jauh tertinggal dari bangsa lainnya, dan itu akan sangat berbahaya
bagi kelangsungan suatu bangsa jika tiba masa tak ada lagi minat baca, karena
tinggal menunggu kehancurannya. Untuk itu demi mengawal peradaban seperti yang
telah dimulai pendahulu bangsa dan orang-orang hebat terdahulu maka jika semua
orang merasa memiliki tanggung jawab itu tentu tak ragu lagi menjadi bagian
dari pengawalnya dengan mau menuliskan isi pikirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar